Tren Menjadi ‘Childfree’: Keputusan Pribadi atau Tekanan Sosial?
Tanggal: 20 Mei 2025 21:37 wib.
Belakangan ini, makin sering kita dengar dan baca tentang tren menjadi ‘childfree’ di kalangan generasi muda. Istilah childfree ini merujuk pada keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun adopsi, secara sukarela. Dulu, pilihan semacam ini mungkin dianggap aneh atau bahkan tabu. Mayoritas masyarakat menganggap punya anak itu adalah tujuan utama pernikahan dan bagian dari kelanjutan keturunan. Tapi sekarang, pandangan itu perlahan berubah. Banyak yang secara terbuka menyuarakan pilihan hidup mereka untuk tidak memiliki anak. Nah, pertanyaannya, apakah ini murni keputusan pribadi yang didasari pertimbangan matang, atau justru ada tekanan sosial yang ikut bermain di baliknya?
Secara ideal, keputusan untuk menjadi childfree adalah murni pilihan pribadi yang didasari oleh berbagai pertimbangan. Ada banyak alasan mengapa seseorang memilih jalur ini. Pertama, alasan finansial. Membesarkan anak itu butuh biaya yang sangat besar, mulai dari biaya persalinan, makanan, pakaian, pendidikan, sampai kesehatan. Di zaman sekarang, biaya hidup makin tinggi, dan banyak pasangan merasa belum atau tidak akan pernah sanggup secara finansial untuk membesarkan anak dengan layak. Mereka tidak ingin memaksakan diri dan kemudian hidup dalam tekanan ekonomi.
Kedua, ada juga alasan karier dan pengembangan diri. Banyak individu yang sangat fokus pada ambisi profesional mereka. Mereka ingin mencapai puncak karier, mengejar pendidikan tinggi, atau bahkan berkeliling dunia. Mereka merasa bahwa memiliki anak akan membatasi kebebasan dan waktu mereka untuk mengejar tujuan-tujuan tersebut. Bagi sebagian orang, kepuasan hidup tidak selalu datang dari peran sebagai orang tua, tapi dari pencapaian pribadi dan profesional.
Ketiga, ada yang memilih childfree karena kesadaran lingkungan. Mereka khawatir dengan masalah overpopulation dan dampak buruknya terhadap bumi. Mereka merasa, dengan tidak memiliki anak, mereka ikut berkontribusi dalam mengurangi jejak karbon dan tekanan pada sumber daya alam.
Namun, di sisi lain, nggak bisa dimungkiri kalau ada juga tekanan sosial yang, secara nggak langsung, memengaruhi keputusan ini. Meskipun childfree dipandang sebagai pilihan modern, di beberapa lingkaran sosial, ada pandangan ekstrem yang seolah "mewajibkan" gaya hidup tertentu. Misalnya, ada tren di media sosial yang mengelu-elukan kebebasan dan kemandirian, dan kadang secara nggak sadar, bisa membuat orang yang memilih memiliki anak merasa kurang "keren" atau kurang "bebas". Ini bukan tekanan langsung untuk menjadi childfree, tapi semacam vibe yang mengarahkan ke sana.
Sebaliknya, tekanan sosial untuk punya anak justru masih sangat kuat di banyak budaya, termasuk di Indonesia. Pertanyaan "kapan punya anak?" atau "kok belum ada isinya?" sering banget jadi boomerang di acara keluarga. Tekanan ini bisa sangat membebani, terutama bagi pasangan yang sudah menikah. Bagi sebagian orang, memilih childfree mungkin juga adalah respons atau pemberontakan terhadap tekanan sosial untuk terus-menerus mengikuti norma yang ada. Ini adalah cara mereka menegaskan otonomi dan kontrol atas tubuh serta hidup mereka.
Jadi, tren menjadi PilihanChildfree ini adalah fenomena kompleks yang melibatkan baik KeputusanPribadi maupun dinamika tekanan sosial. Idealnya, setiap individu atau pasangan harus punya kebebasan penuh untuk memutuskan apakah mereka ingin memiliki anak atau menjalani HidupTanpaAnak, tanpa harus dihakimi atau merasa tertekan dari pihak mana pun. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk lebih menghargai keberagaman pilihan hidup dan memahami bahwa kebahagiaan itu punya banyak bentuk, dan nggak semua jalan hidup harus sama. Yang paling penting adalah setiap keputusan diambil dengan kesadaran penuh, pertimbangan matang, dan bukan karena ikut-ikutan atau tekanan yang nggak sehat.