Trauma Antara Generasi: Mengungkap Pergeseran Budaya dalam Pola Asuh

Tanggal: 14 Jul 2025 12:08 wib.
Dalam sebuah diskusi menarik mengenai pergeseran budaya yang terjadi dalam pola asuh, psikiater dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, dr. Jiemi Ardian Sp.KJ, mengungkapkan bahwa perbedaan nilai dan cara dalam berkomunikasi saat ini dapat menimbulkan trauma di antara orang tua dan anak, terutama pada generasi muda. Ia mencatat bahwa interaksi antar generasi ini sering kali dipenuhi oleh kesalahpahaman, terutama dalam hal meminta maaf, yang bisa berlanjut menjadi luka emosional mendalam.

Menurut Jiemi, sebelumnya orang tua dari generasi yang lebih tua biasanya tidak menggunakan komunikasi verbal secara langsung untuk meminta maaf. Sebaliknya, cara mereka mengekspresikan penyesalan sering kali dilakukan melalui tindakan lain yang dianggap sebagai bentuk pengakuan. Misalnya, dengan memberikan perawatan atau perhatian lebih sebagai ungkapan rasa maaf. Namun, seiring berkembangnya waktu, terutama dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin luas, generasi kini berorientasi pada komunikasi dua arah yang lebih terbuka dan eksplisit.

Namun, perbedaan pendekatan ini sering kali menimbulkan frustrasi dan rasa tidak dimengerti di pihak anak. Jiemi menjelaskan bagaimana kesenjangan ini berpotensi menciptakan realitas yang tidak sesuai dengan harapan anak. Sering kali, anak merasa bahwa orang tua mereka tidak pernah meminta maaf, yang dapat memunculkan trauma dan ketidakpuasan. Hal ini lebih kompleks daripada yang terlihat, sebab konteks budaya dan cara berkomunikasi yang berbeda selalu berperan dalam interaksi antargenerasi.

Lebih jauh ia menekankan bahwa sebenarnya niat baik orang tua dalam berkomunikasi kerap terhalang oleh perbedaan cara dalam menerima dan mengatasi konflik. Keterbatasan pemahaman ini dapat menyebabkan jarak yang lebih besar antara orang tua dan anak. Jika anak mampu untuk mengatasi trauma yang mereka rasakan dan bersedia untuk membuka dialog dengan orang tua, komunikasi yang lebih bermakna dan positif mungkin dapat terjalin. Dalam proses itu, mungkin juga akan ada kolaborasi untuk menetapkan pola asuh yang lebih harmonis dan sesuai dengan konteks komunikasi masing-masing.

Dalam wawancaranya, Jiemi mengungkapkan pentingnya menyadari bahwa luka emosional yang mungkin dirasakan oleh anak tidak selalu sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan orang tua. Terkadang, pertemuan dua budaya yang berbeda tanpa disadari telah menjebak mereka dalam cara pandang dan pengertian yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa pemulihan dari trauma tersebut memerlukan usaha dan keinginan untuk saling mengerti antara generasi yang berbeda. 

Hal tersebut menciptakan sebuah peluang bagi kedua belah pihak untuk belajar dari satu sama lain dan mengambil pelajaran yang bisa membawa hubungan keluarga menjadi lebih sehat dan berfungsi. Melalui dialog yang terbuka dan empatik, harapannya adalah tidak hanya trauma yang teratasi, tetapi juga hubungan antara orang tua dan anak yang semakin kuat dan saling mendukung.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved