Terjebak Tren Puncak: Memahami Fenomena Pendaki FOMO

Tanggal: 25 Agu 2025 22:26 wib.
Dalam beberapa tahun terakhir, mendaki gunung telah bertransformasi dari sekadar hobi menjadi sebuah tren gaya hidup yang sangat populer, didorong oleh euforia media sosial. Di balik keindahan foto-foto di puncak gunung yang viral, muncul sebuah fenomena yang dikenal sebagai Pendaki FOMO, atau Fear of Missing Out. Mereka adalah orang-orang yang mendaki bukan karena cinta pada alam atau tantangan fisik, melainkan karena dorongan untuk tidak ketinggalan tren dan mendapatkan pengakuan sosial. Fenomena ini memiliki dampak yang signifikan, baik pada pengalaman pribadi pendaki maupun pada lingkungan itu sendiri.

Ada beberapa ciri yang bisa mengidentifikasi pendaki FOMO. Salah satu yang paling jelas adalah fokus pada hasil, bukan proses. Prioritas utama mereka adalah mendapatkan foto yang sempurna di puncak atau di spot yang sedang viral, dengan latar belakang yang spektakuler. Mereka mungkin lebih memperhatikan kamera dan angle foto daripada keindahan alam di sekitar mereka. Ciri lainnya adalah kurangnya persiapan. Karena terburu-buru mengejar tren, mereka seringkali mengabaikan persiapan fisik yang memadai, perlengkapan yang benar, atau pengetahuan dasar tentang jalur pendakian, yang dapat membahayakan keselamatan diri dan orang lain.

Mengapa fenomena ini begitu marak? Jawabannya terletak pada dinamika media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok menciptakan budaya perbandingan dan validasi eksternal. Jumlah likes, komentar, dan share pada sebuah foto puncak menjadi ukuran keberhasilan, memicu siklus di mana seseorang merasa harus melakukan hal yang sama untuk mendapatkan pengakuan. Mendaki, yang seharusnya menjadi kegiatan untuk terhubung dengan alam dan diri sendiri, berubah menjadi sebuah pertunjukan untuk mendapatkan validasi dari dunia maya.

Dampak dari fenomena ini tidak bisa dianggap remeh. Bagi individu, mengejar validasi dapat menyebabkan burnout dan kecemasan. Alih-alih mendapatkan ketenangan dari alam, mereka justru merasa tertekan untuk tampil sempurna. Jika tidak berhasil mendapatkan foto yang diinginkan, mereka bisa merasa kecewa dan perjuangan mendaki terasa sia-sia. Bagi lingkungan, dampak dari pendaki yang kurang kesadaran sangat berbahaya. Peningkatan jumlah pengunjung yang tidak peduli dapat menyebabkan masalah sampah, erosi jalur, dan kerusakan pada ekosistem yang rapuh.

Untuk keluar dari jebakan ini, kita perlu kembali pada esensi sejati dari mendaki. Tanyakan pada dirimu sendiri, "Mengapa aku mendaki?" Jika jawabannya adalah untuk kesenangan, ketenangan batin, atau sekadar tantangan pribadi, maka fokuslah pada hal itu. Nikmati setiap langkah, hirup udara segar, dengarkan suara alam, dan biarkan keindahan alam yang memotivasi, bukan jumlah likes. Ingatlah bahwa pengalaman paling berharga adalah yang kamu rasakan di hati dan pikiran, bukan yang dipajang di layar ponsel.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved