Tak Disangka, Orang yang Tidak Menikah Justru Lebih Jarang Terkena Demensia? Ini Penjelasan Ilmiahnya!
Tanggal: 17 Mei 2025 14:21 wib.
Pernikahan sering kali dianggap sebagai penopang utama kesehatan mental dan fisik di usia tua. Namun, hasil dari sebuah penelitian terbaru justru menyuguhkan fakta mengejutkan yang berlawanan dengan anggapan umum tersebut. Studi berskala besar yang dilakukan oleh Florida State University mengungkap bahwa orang yang tidak menikah atau yang pernah mengalami perceraian justru cenderung memiliki risiko lebih rendah mengalami demensia, khususnya Alzheimer.
Temuan ini diangkat oleh PsyPost pada Senin (5 Mei 2025), berdasarkan data yang dikumpulkan dari lebih dari 24.000 peserta di Amerika Serikat. Semua peserta tidak mengidap demensia saat awal penelitian dan mereka diikuti secara berkala selama hampir 20 tahun untuk memantau perkembangan kondisi kognitif mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana status pernikahan dapat memengaruhi risiko terkena demensia di kemudian hari.
Siapa yang Justru Paling Berisiko Rendah?
Secara mengejutkan, di tahap awal analisis, kelompok yang tidak berada dalam status pernikahan permanen – seperti yang belum pernah menikah, yang telah bercerai, maupun yang menjadi duda atau janda – menunjukkan tingkat risiko demensia yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menikah.
Namun ketika peneliti mulai menyaring hasil berdasarkan faktor lain yang dapat memengaruhi kesehatan otak seperti kebiasaan merokok, tingkat depresi, dan gaya hidup lainnya, hanya dua kelompok yang tetap mempertahankan risiko demensia yang lebih rendah secara signifikan: yaitu mereka yang belum pernah menikah sama sekali dan mereka yang bercerai.
Alzheimer vs Demensia Vaskular: Mana yang Lebih Terpengaruh?
Menariknya, kaitan antara status pernikahan dan risiko demensia ini paling konsisten terlihat pada jenis demensia Alzheimer, yang merupakan tipe paling umum, dibandingkan dengan demensia vaskular yang lebih jarang terjadi. Alzheimer menyerang fungsi memori, pemikiran, dan perilaku, sedangkan demensia vaskular lebih berkaitan dengan gangguan aliran darah ke otak.
Kelompok duda atau janda juga menunjukkan kecenderungan memiliki risiko lebih rendah terhadap demensia, meskipun tidak sekuat kelompok bercerai atau belum pernah menikah. Temuan ini membuka ruang diskusi baru dalam bidang neurologi dan psikologi sosial mengenai bagaimana dinamika hubungan personal bisa berdampak besar pada kesehatan otak.
Menikah Tak Selalu Menjamin Kesehatan Kognitif?
Sebelumnya, berbagai studi menyebut bahwa pernikahan memberikan manfaat kesehatan yang signifikan, mulai dari umur yang lebih panjang hingga tingkat stres yang lebih rendah. Namun, hasil studi ini menantang anggapan tersebut dan memberikan perspektif berbeda.
Salah satu penjelasan yang ditawarkan oleh para peneliti adalah adanya bias deteksi pada pasangan yang menikah. Orang yang hidup bersama pasangan cenderung lebih cepat menyadari adanya gejala penurunan kognitif dan lebih terdorong untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Ini berarti kemungkinan didiagnosis demensia akan lebih tinggi karena gejala cepat terdeteksi — bukan karena mereka lebih rentan terkena.
Namun, peneliti juga menyebut bahwa bias ini tidak terlalu signifikan, sebab semua peserta dalam studi mendapatkan pemeriksaan medis tahunan oleh tenaga kesehatan profesional. Artinya, kemungkinan perbedaan deteksi dini tidak terlalu memengaruhi hasil utama.
Keterbatasan Studi dan Faktor Sosial Lain
Meski menjadi salah satu studi terbesar yang meneliti hubungan antara status pernikahan dan demensia, penelitian ini juga memiliki keterbatasan. Sampel studi didominasi oleh peserta yang sudah menikah, serta kurang beragam dari segi etnis dan tingkat pendapatan. Faktor-faktor ini bisa membatasi generalisasi temuan ke populasi yang lebih luas.
Namun, yang paling menarik dari hasil studi ini adalah pesan mendalam bahwa status pernikahan bukan satu-satunya faktor penentu kesehatan kognitif seseorang. Kualitas hubungan, dukungan emosional, dan kepuasan pribadi tampaknya memainkan peran yang jauh lebih besar dalam menjaga otak tetap sehat di usia lanjut.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Temuan ini memberikan pelajaran penting bagi masyarakat luas dan praktisi kesehatan: pendekatan terhadap pencegahan demensia tidak bisa hanya dilihat dari status hubungan seseorang. Penting untuk juga mempertimbangkan aspek psikologis dan sosial yang lebih dalam, seperti perasaan bahagia dalam hidup, kualitas interaksi sosial, serta bagaimana seseorang merespons stres dan perubahan hidup.
Untuk mereka yang belum menikah atau yang pernah mengalami perceraian, hasil studi ini bisa menjadi pengingat bahwa bukan status pernikahan yang menentukan kualitas hidup dan kesehatan otak, melainkan bagaimana seseorang membangun rutinitas yang sehat, menjaga koneksi sosial, dan menemukan makna dalam hidup sehari-hari.
Sebaliknya, bagi mereka yang menikah, hasil ini bukan berarti pernikahan berdampak buruk bagi otak. Namun, penting untuk memastikan bahwa hubungan pernikahan tersebut membawa kenyamanan, komunikasi yang sehat, dan dukungan emosional yang kuat.