Stereotip Gender dalam Dunia Pendidikan Masih Jadi Masalah
Tanggal: 28 Mei 2025 11:28 wib.
Di zaman yang katanya sudah modern dan serba maju ini, seringkali kita masih menemukan hal-hal kuno yang sayangnya masih bertahan di sekitar kita. Salah satunya adalah stereotip gender dalam dunia pendidikan. Mungkin nggak kelihatan secara langsung, tapi bibit-bibit bias gender ini masih sering muncul dan dampaknya bisa bikin kita mikir ulang, "Lah, kok masih gini aja sih?" Ini bukan cuma soal cowok nggak boleh pakai baju pink, tapi lebih jauh lagi soal bagaimana cara pandang kita terhadap potensi anak-anak berdasarkan jenis kelamin mereka.
Coba deh kita amati di lingkungan sekolah atau bahkan di rumah. Seringkali, anak laki-laki cenderung didorong untuk tertarik pada mata pelajaran sains, matematika, atau teknik. Kalau mereka jago di bidang itu, langsung deh dibilang "calon insinyur" atau "otak encer". Sementara itu, anak perempuan lebih sering diarahkan ke bidang yang berkaitan dengan bahasa, seni, atau humaniora. Kalau ada anak perempuan yang suka utak-atik mesin atau jago coding, kadang masih dianggap "aneh" atau "kok kayak cowok?". Ini adalah contoh nyata bagaimana diskriminasi itu terjadi sejak dini.
Dampaknya, anak-anak jadi merasa dibatasi. Anak laki-laki yang sebenarnya punya bakat di bidang seni atau bahasa, mungkin jadi ragu untuk mengeksplorasi minatnya karena takut dicap nggak "jantan". Begitu juga anak perempuan yang punya potensi di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika), bisa jadi mundur teratur karena merasa itu bukan "dunia perempuan" atau takut nggak ada yang mendukung. Padahal, potensi dan minat itu nggak ada hubungannya sama jenis kelamin. Setiap anak punya hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa dibatasi oleh label-label kuno.
Stereotip ini juga bisa merembet ke pilihan jurusan di perguruan tinggi atau bahkan pilihan karir. Coba perhatikan, kenapa sih masih banyak jurusan teknik yang didominasi laki-laki, sementara jurusan keperawatan atau keguruan lebih banyak perempuannya? Ini bukan karena kemampuan, tapi karena sudah ada stereotip yang tertanam sejak kecil. Akhirnya, kita kehilangan banyak talenta-talenta hebat hanya karena mereka tidak "sesuai" dengan ekspektasi gender yang sempit.
Lalu, siapa yang berperan dalam menyebarkan stereotip ini? Banyak pihak. Mulai dari keluarga yang mungkin tanpa sadar mengarahkan anak berdasarkan jenis kelamin, guru-guru di sekolah yang mungkin punya bias saat mengajar atau memberikan feedback, sampai buku pelajaran atau media yang masih menampilkan peran gender yang kaku. Lingkungan sekitar juga punya peran besar dalam membentuk cara pandang ini.
Terus, gimana dong caranya biar kita bisa menciptakan pendidikan setara yang bebas dari belenggu stereotip ini? Pertama, mulai dari diri sendiri. Pikirkan ulang semua pandanganmu tentang "cowok itu harusnya gini" atau "cewek itu harusnya gitu". Setiap orang itu unik, dan potensi mereka nggak bisa dibatasi oleh jenis kelamin.
Kedua, di lingkungan keluarga, berikan kebebasan pada anak untuk mengeksplorasi minatnya, apapun jenis kelaminnya. Jangan batasi mainan, hobi, atau cita-cita mereka. Dukung mereka untuk jadi diri sendiri. Ketiga, di sekolah, guru-guru perlu mendapatkan pelatihan tentang bias gender dan bagaimana cara menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Kurikulum dan materi ajar juga perlu diperbarui agar lebih menampilkan keragaman peran gender dan tidak stereotipikal.
Keempat, media dan buku pelajaran harus lebih kritis dalam menampilkan representasi gender. Tunjukkan bahwa perempuan bisa jadi ilmuwan hebat, dan laki-laki bisa jadi seniman yang peka. Terakhir, mari kita promosikan edukasi tanpa label. Biarkan anak-anak berkembang sesuai minat dan bakatnya, tanpa harus merasa terbebani oleh ekspektasi gender. Karena gender setara dalam pendidikan itu bukan cuma soal keadilan, tapi juga soal membuka lebih banyak peluang bagi semua anak untuk mencapai potensi terbaik mereka. Pendidikan yang adil adalah hak setiap individu.