Sumber foto: Canva

Sisi Gelap Dunia eSports: Tekanan, Toxicity, dan Kesehatan Mental

Tanggal: 21 Jul 2025 10:30 wib.
Dunia eSports kini jadi industri raksasa. Jutaan pasang mata menyaksikan turnamen berhadiah miliaran, dan para pemain profesional dielu-elukan layaknya bintang olahraga. Gemerlapnya memang memukau, menjanjikan karier impian bagi banyak gamer. Namun, di balik panggung megah dan sorotan kamera, ada sisi gelap yang jarang terungkap: tekanan luar biasa, lingkungan yang penuh toxicity, dan dampaknya yang serius pada kesehatan mental para atlet eSports. Ini bukan lagi sekadar bermain game, ini adalah arena kompetisi brutal dengan konsekuensi nyata.

Tekanan Berlipat Ganda dari Berbagai Arah

Seorang atlet eSports profesional menghadapi tekanan yang jauh melebihi apa yang terlihat. Pertama, ada tekanan performa. Mereka dituntut untuk selalu tampil prima, konsisten di level tertinggi, dan memenangkan setiap pertandingan. Satu kesalahan kecil saja bisa berakibat kekalahan tim, yang berarti hilangnya kesempatan juara dan hadiah besar. Ini belum ditambah beban ekspektasi dari tim, sponsor, dan jutaan penggemar yang menonton. Kekalahan bisa berarti kehilangan dukungan finansial, atau bahkan dicoret dari tim.

Kedua, ada tekanan waktu dan latihan ekstrem. Latihan bukan lagi sekadar hobi. Seorang atlet eSports bisa menghabiskan 10-14 jam sehari di depan layar, berlatih, menganalisis strategi, dan bertanding. Jadwal yang padat ini seringkali mengorbankan waktu istirahat, interaksi sosial di luar game, bahkan pendidikan. Gaya hidup menetap dengan jam kerja yang tidak manusiawi ini secara fisik melelahkan dan mental menguras tenaga.

Terakhir, ada tekanan finansial. Meskipun hadiah turnamen bisa sangat besar, tidak semua pemain mendapatkan gaji yang stabil atau jaminan keuangan. Banyak yang bergantung pada performa dan kontrak jangka pendek. Ketidakpastian ini menambah lapisan stres, terutama bagi mereka yang menjadikan eSports sebagai satu-satunya sumber penghasilan.

Lingkungan Toxicity yang Merusak

Selain tekanan performa, para atlet eSports juga harus berhadapan dengan lingkungan yang seringkali penuh toxicity atau perilaku beracun. Ini bisa datang dari berbagai sumber:

Toxicity dari Tim dan Rekan: Di dalam tim sendiri, persaingan internal, flaming (makian), atau blaming (saling menyalahkan) saat kalah bisa sangat merusak mental. Kurangnya komunikasi yang sehat atau kepemimpinan yang buruk dapat menciptakan suasana tegang dan tidak mendukung.

Toxicity dari Penggemar dan Komunitas: Penggemar yang kecewa seringkali melontarkan kritik pedas, hujatan, bahkan ancaman melalui media sosial atau platform streaming. Ini sering disebut cyberbullying. Anonimitas internet membuat individu merasa bebas meluapkan emosi negatif tanpa filter, dan atlet menjadi sasaran empuk. Tekanan publik ini bisa sangat menghancurkan kepercayaan diri.

Toxicity dari Lawan: Dalam pertandingan itu sendiri, taunting (ejekan) atau trash talk (kata-kata merendahkan) dari tim lawan bisa jadi bagian dari strategi mental game. Namun, jika berlebihan, ini bisa mengganggu fokus dan memicu stres.

Lingkungan yang terus-menerus terpapar toxicity ini bisa membuat atlet merasa terisolasi, tidak berharga, dan bahkan membenci game yang dulu mereka cintai.

Dampak Serius pada Kesehatan Mental

Kombinasi antara tekanan ekstrem dan paparan toxicity yang terus-menerus memiliki dampak serius pada kesehatan mental para atlet eSports. Gangguan kecemasan, depresi, burnout (kelelahan ekstrem secara fisik dan mental), hingga masalah tidur adalah keluhan umum di kalangan mereka. Beberapa kasus bahkan melaporkan panic attacks, gangguan makan, atau pikiran untuk bunuh diri.

Stigma terkait masalah kesehatan mental masih cukup tinggi di dunia eSports. Banyak atlet merasa enggan mencari bantuan atau berbicara tentang masalah mereka karena takut dianggap lemah, kehilangan tempat di tim, atau dicemooh penggemar. Budaya "harus kuat" dan "tidak boleh mengeluh" ini memperparah kondisi dan membuat mereka terjebak dalam lingkaran penderitaan. Kurangnya dukungan psikologis profesional yang terintegrasi dalam struktur tim atau organisasi eSports juga menjadi masalah besar.

Pergeseran Menuju Kesadaran dan Solusi

Untungnya, semakin banyak pihak yang mulai menyadari sisi gelap ini. Organisasi eSports, tim, dan bahkan para atlet itu sendiri mulai berbicara terbuka tentang pentingnya kesehatan mental. Inisiatif untuk menyediakan psikolog olahraga, konselor, dan program dukungan mental bagi para pemain mulai bermunculan. Edukasi tentang bahaya toxicity dan pentingnya sportivitas juga perlahan digalakkan di komunitas gaming.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved