Sumber foto: Canva

Sindrom Tourette: Gangguan Saraf yang Sering Disalahpahami

Tanggal: 28 Agu 2025 14:45 wib.
Ketika mendengar kata "Sindrom Tourette", banyak orang langsung membayangkan seseorang yang tidak bisa mengendalikan diri untuk mengucapkan kata-kata kotor atau kasar secara tiba-tiba. Gambaran ini memang sering ditampilkan di media, tapi sebenarnya hanya mewakili sebagian kecil dari kondisi yang jauh lebih kompleks dan sering kali disalahpahami. Sindrom Tourette adalah gangguan neurologis yang berdampak pada sistem saraf, bukan sekadar masalah perilaku atau ketidakmampuan untuk mengontrol ucapan. Memahami kondisi ini lebih dalam sangat penting untuk menghilangkan stigma dan memberikan dukungan yang tepat.

Apa Sebenarnya Sindrom Tourette?

Pada dasarnya, Sindrom Tourette adalah gangguan yang ditandai dengan tic, yaitu gerakan atau suara yang terjadi secara berulang, tiba-tiba, dan tidak disengaja. Tic ini bisa berupa tic motorik (gerakan) atau tic vokal (suara). Tic motorik sederhana bisa berupa kedipan mata, anggukan kepala, atau gerakan bahu. Sementara itu, tic motorik kompleks bisa lebih rumit, seperti melompat-lompat, menyentuh-nyentuh benda, atau meniru gerakan orang lain.

Tic vokal juga terbagi dua. Tic vokal sederhana bisa berupa berdeham, mendengus, atau mengulang suara. Sedangkan tic vokal kompleks, yang sering jadi sorotan, adalah mengucapkan kata-kata atau frasa, termasuk koprolalia (kata-kata kotor) atau ekolalia (mengulang kata-kata orang lain). Penting untuk dicatat bahwa koprolalia hanya dialami oleh sebagian kecil orang dengan Sindrom Tourette, sekitar 10-15 persen. Jadi, tidak semua penderita mengalaminya.

Kondisi ini biasanya muncul di masa kanak-kanak, antara usia 5 hingga 10 tahun. Intensitas dan jenis tic bisa berubah seiring waktu. Kadang tic bisa menghilang sementara dan muncul lagi dengan jenis yang berbeda. Tic cenderung memburuk saat seseorang merasa stres, cemas, bersemangat, atau lelah, dan biasanya mereda saat seseorang fokus pada suatu aktivitas atau dalam keadaan tenang.

Mitos dan Fakta di Balik Tourette

Kesalahan pemahaman yang paling fatal adalah menganggap tic sebagai perilaku yang disengaja. Tic bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol sepenuhnya. Sebelum tic muncul, penderita biasanya merasakan sensasi tidak nyaman, seperti gatal atau tegang, yang disebut dorongan premonitory. Satu-satunya cara untuk meredakan dorongan ini adalah dengan melakukan tic. Setelah tic dilakukan, sensasi tersebut mereda untuk sementara.

Masyarakat seringkali salah mengira tic sebagai kebiasaan buruk yang bisa dihentikan jika penderita "mau berusaha". Pandangan ini sangat menyakitkan bagi penderita karena tic sama sekali di luar kendali mereka. Ini bukan masalah disiplin diri, melainkan masalah neurologis yang melibatkan area otak yang bertanggung jawab atas gerakan dan suara.

Sebagian besar penderita Sindrom Tourette tidak hanya memiliki tic. Kondisi ini seringkali disertai dengan gangguan lain, yang dikenal sebagai kondisi komorbiditas. Beberapa kondisi yang paling umum adalah Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan obsesif-kompulsif (OCD), dan gangguan kecemasan. Adanya kondisi-kondisi ini membuat penanganan Sindrom Tourette menjadi lebih rumit dan membutuhkan pendekatan yang holistik.

Penyebab dan Penanganan

Penyebab pasti Sindrom Tourette belum sepenuhnya diketahui. Namun, para ilmuwan meyakini ada kombinasi faktor genetik dan lingkungan yang berperan. Penelitian menunjukkan ada riwayat keluarga yang kuat, di mana jika ada satu orang dengan Sindrom Tourette dalam keluarga, kemungkinan anak-anaknya juga akan mengalaminya. Faktor neurologis juga ikut andil, diduga melibatkan neurotransmitter seperti dopamin dan serotonin yang berperan dalam mengendalikan gerakan.

Karena tidak ada obat yang bisa menyembuhkan Sindrom Tourette secara total, penanganan lebih berfokus pada mengelola tic dan kondisi terkait. Tidak semua penderita memerlukan pengobatan. Jika tic ringan dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, penanganan medis mungkin tidak diperlukan.

Namun, jika tic sudah sangat mengganggu, ada beberapa pilihan terapi yang bisa membantu. Terapi perilaku, seperti Cognitive Behavioral Intervention for Tics (CBIT), bisa membantu penderita mengenali dorongan premonitory dan menggantinya dengan perilaku lain yang tidak terlalu mengganggu. Terapi ini mengajarkan penderita untuk lebih sadar akan tic mereka dan melatih respons yang berbeda. Selain itu, ada juga pengobatan farmakologis yang bisa diresepkan oleh dokter untuk mengurangi frekuensi dan intensitas tic, terutama untuk kasus yang parah.

Pentingnya Edukasi dan Dukungan

Satu hal yang paling dibutuhkan oleh penderita Sindrom Tourette adalah dukungan dan pemahaman. Karena sering disalahpahami, mereka rentan menjadi korban bullying atau diasingkan secara sosial. Edukasi publik tentang kondisi ini sangatlah penting. Menjelaskan kepada teman, guru, dan lingkungan sekitar bahwa tic bukanlah hal yang disengaja bisa membantu mengurangi stigma.

Alih-alih menghukum atau mengejek, lingkungan harus mendukung dan memberikan ruang bagi penderita untuk mengelola tic mereka tanpa rasa malu. Dengan pemahaman yang benar, kita bisa melihat bahwa di balik tic yang tak terkendali, ada individu yang memiliki bakat, kecerdasan, dan potensi luar biasa, sama seperti orang lain.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved