Setelah ‘Quiet Quitting’, Kini Muncul Fenomena Baru di Kantor: “Quiet Cracking”

Tanggal: 18 Agu 2025 08:28 wib.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah "quiet quitting" telah menjadi sorotan sebagai simbol pentingnya masalah di dunia kerja. Namun saat ini, para atasan perlu mewaspadai fenomena baru yang dikenal dengan sebutan "quiet cracking". Fenomena ini diungkapkan oleh Frank Giampietro, Chief Well-being Officer EY Americas, yang menjelaskan bahwa "quiet cracking" terjadi ketika karyawan tetap datang ke tempat kerja dan menjalani rutinitas sehari-hari, namun sesungguhnya mereka sedang berjuang dengan tekanan emosional dan mental yang tidak terlihat oleh mata telanjang. 

Meskipun mereka tampak "baik-baik saja" di luar, realitanya banyak dari mereka yang tidak merasakan perkembangan atau kebahagiaan di lingkungan kerja mereka, sehingga terjebak dalam keadaan yang disebut "retak dalam diam". Giampietro menegaskan, "Apa yang kita lihat akhir-akhir ini adalah banyak orang yang sebenarnya bertahan dengan perusahaan tempat mereka bekerja saat ini, tetapi mereka tidak benar-benar berkembang." 

Fenomena ini semakin mencuat akibat situasi pasar kerja yang mengalami stagnasi. Banyak karyawan tidak lagi berani untuk berpindah kerja meskipun berada pada posisi yang tidak memuaskan, disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi yang melanda, terbatasnya peluang kerja, serta proses perekrutan yang semakin lambat. Walaupun demikian, penelitian menunjukkan bahwa berpindah tempat kerja saat ini dapat memberikan dampak finansial yang lebih merugikan dibandingkan bertahan dalam perusahaan yang lama.

" banyak yang merasa terjebak dan itu bukan karena mereka membuat pilihan untuk terus berada di sana, tetapi karena mereka tak punya pilihan lain yang lebih baik," tambah Giampietro. Dampak dari kondisi ini sangat serius, seperti turunnya keterlibatan dan kepuasan kerja, tergerusnya moral tim, menurunnya produktivitas, dan meningkatnya risiko burnout. Sebuah laporan terbaru dari Gallup bahkan menunjukkan bahwa keterlibatan karyawan di seluruh dunia mengalami penurunan, dari 23 persen menjadi 21 persen pada 2024, dengan kerugian produktivitas yang diperkirakan mencapai sekitar 438 miliar dolar AS. 

Sementara itu, mengingat semakin meningkatnya tekanan di dunia kerja, Giampietro juga memperingatkan bahwa gejala "quiet cracking" seringkali mirip dengan tanda-tanda burnout, meskipun mungkin dengan skala yang lebih ringan. Gejala fisik seperti sakit kepala, cepat merasa lelah, dan sering kali absen karena sakit dapat muncul. 

"Performa pun bisa berubah, misalnya seorang top performer yang sebelumnya menunjukkan hasil luar biasa mungkin mengalami inkonsistensi, atau rekan kerja yang umumnya ceria tiba-tiba menjadi pendiam dan pesimis," ungkapnya. 

Dalam menghadapi tantangan ini, para atasan diharapkan lebih peka terhadap perubahan perilaku yang terjadi dalam tim mereka. Penting untuk tidak langsung menganggap bahwa perubahan tersebut berhubungan dengan masalah kinerja semata. Sebaliknya, sangat disarankan untuk mengajak berbicara secara personal. Adakan dialog yang membuka kesempatan bagi karyawan untuk berbagi perasaan mereka. Giampietro menyarankan, "Sesederhana mengatakan: 'Saya perhatikan ada perubahan, boleh kita ngobrol? Saya cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja' dapat sangat membantu."

Namun, tantangan ini semakin rumit karena minat perusahaan terhadap kesejahteraan karyawan yang sebelumnya meningkat selama pandemi kini mulai memudar. Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, perhatian banyak organisasi mulai teralihkan kepada efisiensi biaya, sehingga dukungan bagi karyawan berisiko berkurang, terutama di saat mereka sangat membutuhkannya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved