Self-Diagnose di TikTok Bisa Bahaya Kalau Nggak Dilandasi Ilmu
Tanggal: 27 Mei 2025 11:04 wib.
Tampang.com | Di era serba digital ini, TikTok bukan cuma jadi tempat hiburan atau cari resep masakan viral. Sekarang, banyak banget konten yang membahas soal kesehatan mental, mulai dari ciri-ciri ADHD, depresi, anxiety, sampai bipolar. Nggak jarang, video-video ini pakai contoh yang relatable banget, sampai akhirnya kita jadi merasa, "Wah, ini aku banget!" Dari situ, munculah fenomena self-diagnosis yang dilakukan banyak orang. Memang sih, awalnya mungkin cuma iseng atau buat mencari tahu, tapi kalau nggak dilandasi ilmu yang benar, ini bisa jadi bahaya serius, lho.
Bayangin aja, cuma karena kamu sering lupa kunci atau susah fokus, kamu langsung menyimpulkan kalau kamu punya ADHD setelah nonton video 15 detik di TikTok. Atau, karena kamu lagi sering sedih dan nggak semangat, kamu langsung mendiagnosis diri sendiri depresi. Padahal, dunia kesehatan mental itu kompleks banget. Gejala yang mirip bisa jadi indikasi masalah yang berbeda. Misalnya, kesulitan fokus nggak cuma ada di ADHD, tapi juga bisa jadi tanda kecemasan, kurang tidur, atau bahkan masalah fisik lainnya.
Bahaya pertama dari self-diagnosis ini adalah kesalahan diagnosis itu sendiri. Kita bisa jadi salah mengenali kondisi kita, yang akhirnya membuat kita mengambil langkah penanganan yang keliru. Misalnya, kalau kamu salah mendiagnosis diri dengan kondisi tertentu, kamu mungkin mencoba mencari solusi sendiri dari internet yang belum tentu cocok, atau bahkan malah memperburuk keadaan. Ini jelas bukan diagnosis beneran yang valid.
Kedua, ada risiko terjadi over-diagnosis atau under-diagnosis. Over-diagnosis berarti kamu merasa punya banyak gangguan mental padahal sebenarnya tidak. Ini bisa bikin kamu jadi terlalu cemas, labeling diri sendiri, dan akhirnya membatasi potensi diri. Sementara itu, under-diagnosis berarti kamu mengabaikan gejala serius karena kamu merasa itu "biasa saja" atau "bukan apa-apa" setelah membandingkan dengan konten viral. Ini bisa menunda kamu mencari bantuan profesional yang padahal sangat kamu butuhkan.
Ketiga, self-diagnosis bisa menghambat kamu untuk mendapatkan validasi profesional yang sebenarnya sangat penting. Para psikolog atau psikiater itu belajar bertahun-tahun, mereka punya ilmu, pengalaman, dan alat diagnostik yang teruji untuk bisa menentukan kondisi seseorang dengan tepat. Mereka tidak hanya melihat gejala permukaan, tapi juga menggali riwayat hidup, faktor lingkungan, dan berbagai aspek lain yang membentuk kondisi mentalmu. Kalau kita sudah merasa tahu sendiri, kita jadi enggan untuk berkonsultasi, padahal itulah jalan terbaik menuju penanganan yang efektif.
Keempat, informasi di TikTok atau media sosial lainnya itu seringkali terlalu umum dan tidak spesifik. Mereka nggak bisa menggantikan konsultasi pribadi dengan ahli yang bisa memahami kondisi unikmu. Selain itu, banyak konten yang dibuat oleh orang yang tidak punya latar belakang profesional di bidang kesehatan mental. Meskipun niatnya baik, tapi informasinya bisa jadi tidak akurat atau menyesatkan.
Jadi, gimana dong baiknya? Bukan berarti kita nggak boleh mencari informasi atau belajar tentang kesehatan mental dari media sosial. Itu bagus banget sebagai langkah awal untuk meningkatkan awareness. Tapi, setelah itu, gunakan informasi tersebut sebagai dorongan untuk mencari tahu lebih lanjut dari sumber yang kredibel atau, yang paling penting, melakukan konsultasi dulu dengan profesional.
Kalau kamu merasa ada yang nggak beres dengan dirimu, jangan ragu untuk ngobrol dengan psikolog, psikiater, atau setidaknya dokter umum. Mereka bisa memberikan penilaian yang objektif, diagnosis yang tepat, dan rencana penanganan yang sesuai. Ingat, mencari bantuan itu bukan tanda kelemahan, tapi tanda keberanian dan kepedulian terhadap dirimu sendiri. Karena mental health aware itu berarti kita bertanggung jawab atas kondisi mental kita, dan itu dimulai dengan mendapatkan bantuan yang benar.