Satu Keterampilan Krusial Ini Harus Dikuasai Sebelum Usia 25 Tahun, Jika Tidak Mau Gagal Fokus Seumur Hidup
Tanggal: 17 Mei 2025 15:11 wib.
Di era digital yang penuh distraksi, satu keterampilan yang dulu dianggap biasa kini justru menjadi langka: kemampuan untuk fokus. Jonathan Haidt, profesor psikologi sosial dari New York University sekaligus penulis buku laris The Anxious Generation, menyebutkan bahwa kemampuan ini adalah soft skill paling penting yang wajib dikuasai sebelum usia 25 tahun.
Dalam wawancara podcast bersama Oprah Winfrey, Haidt menyampaikan kekhawatirannya tentang generasi muda saat ini yang semakin kesulitan mempertahankan konsentrasi akibat paparan teknologi digital yang berlebihan, terutama media sosial dan smartphone. Pernyataan ini bukan sekadar opini, tapi juga didukung oleh berbagai data dan penelitian.
Generasi Terganggu: Notifikasi Jadi Ancaman Fokus
Data dari Common Sense Media tahun 2021 menunjukkan bahwa remaja berusia 13 hingga 18 tahun menghabiskan rata-rata 8 jam 39 menit per hari di depan layar. Laporan terbaru tahun 2023 bahkan mengungkap bahwa mereka menerima hampir 240 notifikasi setiap hari, serta mengecek ponsel lebih dari 100 kali dalam sehari. Tak heran, jika konsentrasi menjadi sesuatu yang langka.
"Kita sedang membentuk satu generasi yang secara perlahan kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi," ujar Haidt. Ia menekankan bahwa fokus adalah keterampilan yang sangat penting, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam dunia kerja.
Otak Tidak Menunggu: Risiko Kehilangan Fokus Bersifat Permanen
Salah satu peringatan paling serius dari Haidt adalah bahwa kerusakan kemampuan fokus bisa bersifat permanen, terutama jika gaya hidup digital yang tidak terkendali terus berlangsung hingga usia 25 tahun. Pada usia tersebut, bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan konsentrasi—yakni frontal cortex—telah selesai berkembang.
"Jika kamu membiarkan dirimu terus-menerus terganggu oleh ponsel hingga lewat usia 25, maka mengembalikan kemampuan fokusmu akan jauh lebih sulit," katanya. Artinya, waktu untuk memperbaiki kebiasaan buruk ini sangat terbatas.
Dampak Ketidakmampuan Fokus: Dari Hubungan Personal hingga Dunia Kerja
Fokus bukan hanya soal menyelesaikan tugas. Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi juga akan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari sulitnya menjaga hubungan sosial yang sehat, hingga kesulitan mempertahankan pekerjaan. Haidt mempertanyakan, "Apa ada perusahaan yang mau mempekerjakan seseorang yang tidak bisa fokus?"
Ia menambahkan bahwa di dunia kerja yang serba cepat dan penuh tekanan seperti sekarang, karyawan dituntut untuk mampu menyelesaikan pekerjaan secara efisien dan akurat. Tanpa fokus, produktivitas dan kualitas kerja akan terus menurun.
Kontroversi dan Dukungan: Ketergantungan Gawai Bukan Satu-Satunya Masalah?
Meski buku Haidt menuai pujian luas, beberapa kritik juga muncul. Ada yang menilai bahwa ia terlalu menyederhanakan penyebab gangguan mental hanya pada faktor penggunaan gadget, dan mengabaikan elemen penting lain seperti faktor genetik, trauma masa lalu, hingga ketidakseimbangan kimia otak.
Namun, terlepas dari kontroversi tersebut, fakta di lapangan tetap menunjukkan bahwa penggunaan gawai berlebihan memang berpengaruh pada perkembangan sosial dan emosional anak muda. Bahkan, Surgeon General Amerika Serikat pada tahun 2023 sempat mengeluarkan peringatan resmi tentang dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental remaja, termasuk meningkatnya risiko kecemasan dan depresi.
Digital Detox: Tantangan 30 Hari untuk Kembali Fokus
Sebagai solusi, Haidt menyarankan sebuah langkah sederhana namun menantang: puasa digital selama 30 hari penuh. Tujuannya adalah untuk mengembalikan otak pada kondisi yang lebih sehat dan memperkuat kembali kemampuan untuk fokus.
"Idealnya, lakukan tantangan ini bersama tiga orang teman atau anggota keluarga," sarannya. Dengan dukungan dan komitmen bersama, proses ini akan terasa lebih mudah dan menyenangkan.
Saat keinginan untuk mengecek ponsel muncul, Haidt menyarankan untuk mengganti kebiasaan tersebut dengan aktivitas yang lebih produktif seperti membaca buku, menulis jurnal, menyelesaikan film sampai tuntas, atau berjalan-jalan di luar ruangan. Kuncinya adalah menyelesaikan satu kegiatan hingga akhir sebelum berpindah ke hal lain.
Musik untuk Konsentrasi: Tips dari Psikiater Harvard
Selain digital detox, cara lain untuk meningkatkan fokus datang dari Srini Pillay, psikiater dan peneliti dari Harvard University. Dalam artikelnya di CNBC Make It, ia menyarankan untuk mendengarkan musik sebagai alat bantu konsentrasi. Musik yang tepat bisa menurunkan kadar stres dan hormon kortisol, sehingga pusat perhatian di otak bisa bekerja lebih maksimal.
Namun, ada catatan penting: hindari lagu yang terlalu emosional atau memiliki lirik yang menggugah. "Pusat perhatian di otak terhubung langsung dengan pusat emosi. Musik yang terlalu menggugah justru bisa mengganggu fokus," jelasnya.
Kesimpulan: Fokus Bukan Bakat, Tapi Keterampilan yang Bisa Dilatih
Kemampuan untuk fokus bukanlah sesuatu yang datang secara alami, melainkan soft skill yang perlu dibentuk dan dilatih, terutama di masa muda. Semakin awal kita menyadari pentingnya mengelola distraksi digital, semakin besar peluang kita untuk membangun kehidupan yang lebih sehat, produktif, dan sukses.
Jika kamu berusia di bawah 25 tahun, sekarang adalah waktu terbaik untuk mulai memperbaiki hubunganmu dengan teknologi. Mungkin sulit di awal, tapi hasil jangka panjangnya akan sangat berharga.