Perceraian di Korea Utara: Jalan Terjal Menuju Kebebasan dengan Ancaman Kamp Kerja Paksa
Tanggal: 22 Des 2024 23:18 wib.
Pernikahan seringkali dianggap sebagai ikatan yang sakral, namun tidak semua pernikahan berjalan mulus. Ketika kedua belah pihak tidak lagi ingin mempertahankan hubungan pernikahan, opsi untuk bercerai menjadi langkah yang harus diambil. Namun, bagi warga Korea Utara, bercerai bukanlah hal yang mudah dilakukan. Pasalnya, mereka yang mengajukan perceraian di negara tersebut dianggap membawa kekacauan di tengah masyarakat.
Radio Free Asia melaporkan bahwa pasangan yang bercerai di Korea Utara akan langsung dijebloskan ke dalam kamp kerja paksa. Sebuah laporan baru-baru ini menyebutkan bahwa 12 pasangan resmi bercerai di pengadilan pada 13 Desember dan pasca perceraiannya, mereka dikirim ke kamp kerja militer.
Terdapat perubahan kebijakan dalam hal ini, dimana tahun lalu, hanya pihak yang mengajukan gugatan cerai yang dikirim ke kamp kerja militer. Namun, sejak bulan lalu, baik pihak yang mengajukan maupun yang merespons gugatan cerai dikirim ke kamp kerja militer. Menurut sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, hal ini diduga sebagai tanggapan atas perintah pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un. Pada bulan Maret tahun lalu, Kim Jong-un menyalahkan mereka yang ingin bercerai karena dianggap membawa kekacauan dalam masyarakat dan menentang gaya hidup sosialis.
Sistem hukum di Korea Utara mengakui kemungkinan perceraian, namun tidak menetapkan jenis hukuman untuk pasangan yang bercerai. Meskipun demikian, media daring Daily NK melaporkan bahwa otoritas Pyongyang menjatuhkan hukuman enam bulan di kamp kerja militer kepada orang-orang yang bercerai. Bahkan, orang yang "memiliki lebih banyak kesalahan dalam perceraian"lah yang dikirim ke sana.
Tidak hanya itu, seorang sumber lain juga menyebutkan bahwa seseorang menjalani hukuman tiga bulan di kamp kerja paksa karena bercerai. Bahkan, 30 dari 120 orang di kamp diketahui berada di sana karena menceraikan pasangan mereka. Wanita umumnya dikenakan hukuman yang lebih lama daripada pria. Hal ini dikarenakan banyaknya perceraian di negara ini didasarkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh suami.
Menariknya, laporan Institut Korea untuk Penyatuan Nasional pada Januari yang berdasarkan wawancara dengan 71 pembelot, menyebutkan bahwa semakin banyak wanita di Korea Utara yang lebih memilih untuk hidup bersama pasangan mereka daripada menikah. Data ini memberikan insight bahwa masalah dalam hubungan pernikahan di Korea Utara memerlukan perhatian lebih serius, antara lain mengenai perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Ancaman kamp kerja paksa bagi pasangan yang bercerai menunjukkan bahwa kebebasan untuk melanjutkan atau mengakhiri sebuah pernikahan di Korea Utara sangatlah terbatas. Situasi ini juga menggambarkan ketidakadilan gender, di mana wanita seringkali menjadi korban dalam perceraian dan harus menjalani hukuman lebih berat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pemimpin negara tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam urusan pribadi masyarakatnya.
Kondisi ini memerlukan perhatian serius dari pihak internasional, untuk memastikan hak-hak asasi manusia di Korea Utara dapat dihormati dan dilindungi. Perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dan hak untuk melepaskan diri dari pernikahan yang tidak sehat harus menjadi prioritas. Upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan hak asasi manusia juga perlu terus digalakkan, baik di dalam maupun di luar Korea Utara.
Pemerintah Korea Utara dapat melakukan langkah-langkah konkret untuk melindungi hak-hak warganya, termasuk lebih menekankan pentingnya pembinaan pada hubungan pernikahan, pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, serta memberikan keadilan dalam kasus perceraian. Dengan demikian, diharapkan situasi pernikahan dan perceraian di Korea Utara dapat berjalan lebih adil dan berpihak pada semua warganya.