Penelitian Oleh Health Collaborative Center (HCC) Mengungkap Bahwa Setengah Dari Populasi Indonesia Memiliki Sifat Overthinking
Tanggal: 25 Feb 2025 20:45 wib.
Penelitian yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan fakta yang mengejutkan dan mengkhawatirkan, yaitu bahwa sekitar setengah dari populasi Indonesia mengalami verthinking, atau kebiasaan berpikir berulang yang bersifat negatif. Pola pikir ini seringkali disertai dengan kekhawatiran yang berlebihan terhadap masa depan. Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama HCC, menuturkan bahwa temuan ini mencakup berbagai kalangan yang terlibat dalam penelitian tersebut. "Overthinking ditemukan secara luas pada sekitar 50 persen partisipan dari responden yang kami teliti," jelasnya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada hari Senin, 24 Februari 2025.
Dalam studi ini, HCC melibatkan sebanyak 1.061 responden dari 29 provinsi di seluruh Indonesia, yang dilakukan selama bulan Januari hingga Februari 2025. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari total responden, sekitar 50 persen mengalami overthinking. Selain itu, sebanyak 30 persen menunjukkan tanda-tanda ruminasi, yaitu perilaku berpikir berulang tentang suatu kejadian negatif yang terjadi di masa lalu tanpa menemukan solusi. "Hanya 19 persen responden yang menunjukkan pola pikir reflektif yang lebih sehat," ungkap Ray.
Penelitian ini juga menemukan bahwa overthinking lebih dominan pada kelompok usia muda, khususnya individu yang berusia di bawah 40 tahun, serta lebih sering terjadi pada perempuan dan mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau baru saja kehilangan pekerjaan. Faktor-faktor tekanan ekonomi seperti melonjaknya harga bahan pokok dan meningkatnya biaya layanan kesehatan diketahui menjadi penyebab utama yang turut meningkatkan risiko overthinking di Indonesia.
Ray menuturkan lebih lanjut, "Faktor-faktor ini meningkatkan risiko overthinking hingga 2,0 hingga 2,2 kali lipat." Menariknya, informasi politik yang membingungkan juga berkontribusi pada peningkatan potensi overthinking sampai 1,8 kali lipat. Berita tentang penyakit baru dan risiko wabah menjadi salah satu pendorong utama yang menyebabkan individu mengalami pola pikir negatif ini.
Melihat hasil penelitian yang signifikan ini, HCC mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan yang terarah dan sistematis guna menangani sebab-sebab yang memicu fenomena pola pikir negatif ini. "Dampak dari overthinking bukan hanya sekadar masalah kesehatan mental, tetapi juga mempengaruhi produktivitas dan kualitas hidup individu," imbuh Ray. Mereka yang sering terjebak dalam siklus pikir berulang ini cenderung lebih rentan terhadap stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
Sebagai langkah mitigasi, HCC merekomendasikan agar overthinking menjadi indikator sosial yang penting dalam kebijakan publik. Selain itu, peningkatan literasi tentang kesehatan mental serta penyampaian informasi yang lebih berorientasi pada kemanusiaan juga dipandang esensial dalam mengurangi kecemasan masyarakat.
Perlu juga dicermati bahwa faktor-faktor yang memicu tingginya prevalensi overthinking perlu ditangani secara menyeluruh dalam kerangka kebijakan publik. Tantangan seperti isu-isu ekonomi, kesehatan, dan berita seputar konflik politik menyatu dalam memperburuk keadaan mental masyarakat. "Oleh karena itu, pemerintah perlu menjamin stabilitas sosio-politik dan ekonomi demi mengurangi tingkat overthinking di kalangan masyarakat," imbuh Ray.