Peluang Emas di Tengah Krisis: Profesi Influencer Justru Menjamur!

Tanggal: 3 Jul 2025 12:19 wib.
Di tengah banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor di seluruh dunia, profesi influencer justru menunjukkan laju pertumbuhan yang pesat dan menggembirakan. Transformasi digital yang terus berlanjut memberikan berbagai peluang baru bagi individu yang ingin memanfaatkan situasi sulit ini untuk menghasilkan pendapatan. Itu sebabnya, profesi yang sebelumnya seringkali dianggap sebelah mata kini menjadi primadona dalam dunia pemasaran modern.

Kenaikan pesat jumlah influencer ini tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk mengubah perilaku konsumen melalui konten yang sangat relatable dan relevan. Menariknya, banyak influencer yang berhasil meraih kepopuleran bukanlah selebritas, melainkan individu biasa yang berhasil viral di platform media sosial. Salah satu contohnya adalah Ashton Hall, seorang influencer kebugaran yang berhasil menarik perhatian publik lewat video viralnya yang menunjukkan rutinitas paginya dengan cara unik, yaitu mencelupkan kepalanya ke dalam air mineral dingin merek Saratoga. Tindakan yang sederhana, namun menarik perhatian banyak orang.

Platform TikTok pun menjadi area utama bagi influencer untuk mempromosikan produk-produk, seperti tas dari merek Coach yang dihias dengan grafis ceri dan pretzel, yang tiba-tiba menjadi tren di kalangan Generasi Z dan meningkatkan angka penjualan secara signifikan. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam dunia pemasaran saat ini.

Menurut data yang dirilis oleh Statista, industri pemasaran influencer di seluruh dunia diproyeksikan akan tumbuh hingga 36% dalam tahun ini, mencapai nilai sekitar US$33 miliar atau setara dengan Rp540 triliun. Temuan dari Deloitte juga sangat menarik, yang menunjukkan bahwa tahun lalu, belanja merek terhadap konten kreator meningkat hingga 49% secara global. Bahkan, mereka mencatat bahwa seperempat dari total anggaran untuk media sosial kini dialokasikan khusus untuk para influencer.

Berdasarkan pendapat Kenny Gold dari Deloitte Digital, yang diangkat oleh Taipei Times pada Selasa (24/6/2025), "Ekonomi kreator justru mengalami lonjakan ketika merek mulai mengurangi pengeluaran untuk iklan konvensional." Hal ini menandakan bahwa merek-merek besar kini semakin menyadari pentingnya peran influencer dalam memperkuat pesan pemasaran mereka.

Tidak hanya itu, Kate Scott-Dawkins dari WPP mengungkapkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari konten yang dibuat oleh pengguna tahun ini diprediksi akan melampaui pendapatan dari konten yang dibuat oleh profesional, suatu hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Unilever, salah satu perusahaan raksasa di bidang barang konsumen, juga mengikuti tren ini. CEO Unilever, Fernando Fernandez, mengumumkan keputusan untuk merekrut influencer sebanyak 20 kali lipat demi memenuhi strategi pemasaran berbasis sosial media. Ini menunjukkan betapa tingginya kepercayaan Unilever terhadap kekuatan influencer, terutama di tengah meningkatnya ketidakpercayaan konsumen terhadap pemasaran korporat yang terkesan kaku.

Oliver Lewis, CEO agensi The Fifth yang baru saja diakuisisi oleh Brave Bison, menekankan bahwa "Influencer kini bukan lagi hanya pelengkap, tetapi telah menjadi pusat strategi pemasaran." Penggunaan influencer dalam kampanye pemasaran dianggap lebih hemat biaya dibandingkan iklan tradisional seperti di televisi atau billboard. Pendekatan ini juga menawarkan fleksibilitas yang lebih besar, di mana kampanye dapat dengan mudah disesuaikan atau diubah berdasarkan respons audiens yang diterima.

Namun demikian, menggunakan influencer juga bukan tanpa risiko. Contoh yang bisa diambil adalah kasus Adidas yang menghentikan kerja sama dengan Kanye West akibat kontroversi yang terjadi di media sosial. Keputusan tersebut menunjukkan bahwa, meski influencer bisa membawa keuntungan, mereka juga bisa menimbulkan risiko yang tidak diinginkan bagi merek.

Kini, tren baru mulai berkembang di dunia influencer: adanya influencer yang diciptakan dengan teknologi kecerdasan buatan (AI). Dengan kemampuan yang bisa sepenuhnya dikendalikan dan tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, banyak perusahaan mulai melirik penggunaan AI untuk memastikan keamanan merek mereka. Namun, meski teknologi AI menawarkan banyak kemudahan, nilai-nilai personal dan keaslian yang dimiliki oleh influencer manusia tetap memiliki daya tarik tersendiri.

“Orang lebih percaya kepada orang daripada merek,” ungkap Rahul Titus dari Ogilvy. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya hubungan yang personal dalam membangun kepercayaan di dalam strategi pemasaran. 

Saat ini, meskipun tren influencer terus berkembang, masih sulit untuk memastikan seberapa jauh pertumbuhan profesi ini akan berjalan di masa depan. "Apa yang dulunya dianggap sebagai hal yang terpisah kini justru berada di tengah tengah," jelas banyak pengamat industri. Situasi ini menandakan bahwa profesi influencer akan semakin berperan penting dan menjadi bagian integral dari dunia pemasaran modern, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen yang terus melaju.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved