Orang yang Sangat Sensitif Rentan Alami Masalah Mental
Tanggal: 23 Agu 2025 15:03 wib.
Pernahkah Anda mendengar teman atau anggota keluarga berkomentar bahwa Anda "terlalu sensitif" atau sebaiknya tidak "mikir terlalu dalam"? Ironisnya, seringkali komentar seperti ini datang dari individu yang terlihat kurang peka terhadap perasaan orang lain. Jika Anda sering mendapatkan komentar tersebut, bisa jadi Anda termasuk dalam kategori orang dengan kepribadian Highly Sensitive Person (HSP), yaitu mereka yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan dan pengalaman emosional.
Setiap individu tentu memiliki sisi sensitif, namun bagi orang-orang HSP, sensitivitas tersebut berada pada level yang lebih ekstrem. Sering kali, sifat ini memperoleh label negatif sebagai "terlalu sensitif". Sebaliknya, para ahli berpendapat bahwa sensitivitas adalah bagian integral dari kepribadian yang membawa baik kekuatan maupun tantangan tersendiri.
Beberapa ciri umum orang HSP antara lain cenderung menghindari film atau acara televisi yang menampilkan kekerasan, karena situasi tersebut sering kali terasa begitu intens dan dapat menyebabkan perasaan cemas. Selain itu, mereka juga mudah terharu oleh keindahan, baik yang ditemukan dalam seni, alam, maupun dalam interaksi sosial antar manusia.
Istilah “Highly Sensitive Person” pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Elaine Aron dan Arthur Aron pada pertengahan 1990-an. Elaine Aron kemudian menerbitkan buku berjudul *The Highly Sensitive Person* pada tahun 1996, yang menjadi salah satu titik awal penting dalam mempelajari dan memahami konsep ini.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kepribadian HSP lebih berisiko mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan. Dalam sebuah meta-analisis yang melibatkan 33 studi, terungkap bahwa mereka yang berkategori HSP memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami berbagai isu kesehatan mental, termasuk PTSD dan gangguan kepribadian menghindar.
Meskipun sensitivitas sering kali dianggap sebagai kerentanan, perlu dicatat bahwa orang-orang yang sensitif juga lebih terbuka dan reseptif terhadap pengalaman positif, termasuk dalam hal terapi. Tom Falkenstein, seorang psikoterapis dan peneliti PhD di Queen Mary University of London, menyatakan bahwa analisis ini adalah yang pertama kali membahas hubungan antara sensitivitas dan masalah kesehatan mental dengan temuan yang cukup signifikan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa ada korelasi positif antara tingkat sensitivitas dan berbagai masalah mental, termasuk gangguan stres pascatrauma, kecemasan, dan agorafobia. Hasil laporan penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal *Clinical Psychological Science* pada Agustus 2025.
Menariknya, sekitar 31 persen populasi umum dianggap sebagai orang yang sangat sensitif. Salah satu sisi positif dari kepribadian ini adalah kecenderungan mereka untuk merespons lebih baik terhadap beberapa intervensi psikologis. Oleh karena itu, sensitivitas yang dimiliki oleh seorang pasien harus dipertimbangkan oleh dokter dan praktisi kesehatan mental saat merancang rencana perawatan.
Penelitian lain yang dimuat dalam *Psychology and Aging* menunjukkan bahwa keterbukaan untuk mengekspresikan perasaan dan berinteraksi dengan orang lain dapat memiliki dampak positif dalam mengelola kesehatan mental. Menjadi lebih ekstrovert, misalnya, ternyata berkorelasi dengan kemampuan yang lebih baik dalam mengendalikan stres sehari-hari.
Menarik untuk dicatat bahwa sekitar sepertiga dari populasi dunia termasuk dalam kategori sangat sensitif. Temuan ini memberikan perspektif baru bahwa, alih-alih melihat sensitivitas sebagai sebuah kelemahan, kita dapat memahami bahwa sifat ini bisa menjadi pintu masuk menuju keseimbangan hidup. Hal ini terutama berlaku jika didukung oleh lingkungan yang baik serta pendekatan perawatan yang disesuaikan, seperti praktik mindfulness dan teknik relaksasi.