Sumber foto: Canva

Orang Cenderung Percaya Hoaks yang Emosional

Tanggal: 21 Jul 2025 11:02 wib.
hoaks atau berita bohong jadi santapan sehari-hari. Anehnya, meski banyak upaya untuk melawannya, hoaks tetap saja menyebar, bahkan seringkali lebih cepat dari kebenaran. Salah satu jenis hoaks yang paling mematikan dan mudah dipercaya adalah yang mengandung muatan emosi. Berita yang memicu kemarahan, ketakutan, kesedihan, atau euforia berlebihan punya daya tarik tersendiri, membuat orang cenderung menerimanya mentah-mentah tanpa verifikasi. Ini bukan sekadar kebetulan, ada penjelasan psikologis di baliknya.

Kekuatan Emosi Mengalahkan Logika

Otak manusia itu luar biasa, tapi punya celah saat berhadapan dengan emosi. Ketika sebuah informasi memicu respons emosional yang kuat, entah itu kaget, geram, atau terharu, kemampuan berpikir kritis seringkali langsung tumpul. Otak cenderung memproses informasi berdasarkan perasaan ketimbang fakta. Ini dikenal sebagai bias emosional. Berita yang menyentuh hati atau mengusik rasa keadilan kita, misalnya, cenderung lebih cepat dipercayai karena kita ingin kebenaran itu ada, atau kita ingin reaksi kita terhadap berita itu valid.

Penyebar hoaks sangat memahami fenomena ini. Mereka sengaja merancang narasi yang bermain dengan sentimen tertentu. Misalnya, hoaks yang menyerang kelompok tertentu bisa memicu kemarahan dan kebencian, membuat individu yang sudah punya bias terhadap kelompok tersebut langsung percaya tanpa ragu. Hoaks yang menawarkan janji manis tentang kekayaan instan atau kesembuhan ajaib seringkali memanipulasi harapan dan keputusasaan, terutama bagi mereka yang sedang kesulitan. Dalam kondisi emosi yang membara, proses fact-checking atau bertanya "benarkah ini?" seringkali terabaikan begitu saja.

Kecepatan Penyebaran dan Lingkungan Gema

Hoaks emosional tidak hanya mudah dipercaya, tapi juga punya kecepatan penyebaran yang jauh lebih tinggi. Orang cenderung berbagi informasi yang membuat mereka merasa sesuatu, entah itu terkejut, marah, atau terinspirasi. Emosi itu menular. Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa berita bohong yang memicu emosi negatif seperti ketakutan atau jijik menyebar enam kali lebih cepat daripada berita benar di media sosial.

Di media sosial atau grup percakapan, kita juga sering terjebak dalam lingkungan gema (echo chamber). Ini adalah situasi di mana kita hanya berinteraksi dengan orang-orang yang punya pandangan serupa. Akibatnya, informasi yang kita terima, termasuk hoaks emosional, akan terus diperkuat dan disaring ulang oleh orang-orang yang sudah sepaham. Tidak ada suara-suara yang menantang atau mengoreksi, sehingga keyakinan terhadap hoaks tersebut semakin mengakar kuat. Lingkungan semacam ini membuat kita semakin yakin bahwa informasi yang kita dapat itu benar, karena semua orang di "lingkaran" kita juga memercayainya.

Bias Kognitif yang Memperkuat Kecenderungan

Selain emosi, ada beberapa bias kognitif dalam pikiran manusia yang turut berkontribusi pada kerentanan terhadap hoaks emosional:

Bias Konfirmasi: Ini adalah kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang sesuai dengan keyakinan yang sudah kita miliki. Jika sebuah hoaks cocok dengan apa yang sudah kita yakini (misalnya, tentang seorang politikus yang tidak disukai), kita akan lebih mudah menerimanya, terutama jika ada bumbu emosional yang kuat.

Bias Ketersediaan: Kecenderungan untuk melebih-lebihkan kemungkinan suatu peristiwa terjadi berdasarkan kemudahan kita mengingat contoh-contoh serupa. Jika sebuah hoaks dikemas dengan narasi yang familiar atau sering kita dengar, kita cenderung menganggapnya lebih mungkin terjadi.

Efek Ilusi Kebenaran (Illusory Truth Effect): Semakin sering sebuah informasi (bahkan jika itu bohong) diulang, semakin besar kemungkinan kita memercayainya sebagai kebenaran. Hoaks emosional yang cepat menyebar dan sering muncul di lini masa kita bisa jadi dianggap benar hanya karena frekuensi kemunculannya.

Melawan Hoaks: Peran Literasi Digital dan Skeptisisme Sehat

Mengingat kecenderungan ini, upaya melawan hoaks emosional harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Literasi digital adalah kunci utama. Ini bukan sekadar tahu cara pakai internet, tapi juga punya kemampuan kritis untuk menilai informasi, mengenali sumber yang kredibel, dan memahami bagaimana platform digital bekerja.

Menerapkan skeptisisme sehat juga sangat penting. Setiap kali menerima informasi yang memicu emosi kuat, terutama yang datang dari sumber tidak dikenal atau terlalu dramatis, coba jeda sejenak. Tanyakan: dari mana informasi ini berasal? Adakah sumber lain yang mengonfirmasi? Apa motif penyebarannya? Jangan mudah terprovokasi atau langsung menekan tombol "bagikan" sebelum melakukan verifikasi singkat. Budaya saring sebelum sharing harus jadi kebiasaan. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved