Sumber foto: iStock

Muncul Fenomena Makin Banyak Orang RI Kumpul Kebo, Ada Apa?

Tanggal: 5 Okt 2024 21:40 wib.
Tren kohabitasi atau "kumpul kebo" alias pasangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah semakin marak di Indonesia. Fenomena ini umumnya terjadi di kalangan anak muda dan sering kali menimbulkan kontroversi karena dianggap melanggar norma agama dan hukum di Tanah Air.

Menurut laporan dari The Conversation, pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong anak muda untuk memilih tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan. Pandangan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang rumit dan terikat pada aturan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka membuat kohabitasi dianggap sebagai bentuk hubungan yang lebih murni dan nyata dari cinta.

Di negara-negara Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, kohabitasi mendapatkan pengakuan hukum. Namun di Indonesia, yang kental dengan nilai-nilai budaya, tradisi, dan agama, kohabitasi tidak mendapat pengakuan legal, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang berujung pada pernikahan. Menariknya, hasil studi yang dilakukan pada 2021 dengan judul "The Untold Story of Cohabitation" mengungkap bahwa kohabitasi cenderung lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Sebuah penelitian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dilakukan di kota Manado, Sulawesi Utara, memaparkan bahwa alasan utama pasangan di sana memilih kohabitasi adalah beban finansial, prosedur perceraian yang dianggap berbelit, dan penerimaan sosial. Data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) BKKBN menunjukkan bahwa sebagian kecil penduduk kota Manado melakukan kohabitasi, di antaranya 1,9% dari pasangan kohabitasi tersebut sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, dan 11,6% tidak bekerja.

Peneliti tersebut juga mengungkapkan bahwa pasangan kohabitasi dihadapkan pada risiko ekonomi yang tinggi, terutama perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, kohabitasi tidak memberikan jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, serta tidak mengatur hak-hak terkait perceraian seperti nafkah dan pembagian aset.

Dari segi kesehatan, kohabitasi dapat menurunkan tingkat kepuasan hidup dan memicu masalah kesehatan mental. Peneliti melaporkan bahwa sekitar 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang atau pisah tempat tinggal, dan 0,26% mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kohabitasi juga dapat berdampak buruk pada anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut, seperti gangguan pertumbuhan, kesehatan, emosi, dan identitas. Anak-anak tersebut seringkali mengalami kesulitan dalam menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.

Munculnya fenomena kohabitasi ini menggambarkan adanya perubahan nilai dan pandangan terhadap relasi dan pernikahan di masyarakat. Sementara masyarakat modern cenderung lebih terbuka terhadap pilihan hidup pasangan, perlu juga dipertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan yang timbul dari kohabitasi.

Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan budaya, penting untuk terus memahami serta menghadapi secara bijak fenomena kohabitasi ini tanpa melupakan norma-norma yang ada. Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi setiap anggota masyarakat, termasuk pasangan yang memilih untuk kohabitasi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved