Sumber foto: Pinterest

Merasa Paling Tahu Padahal Belum Banyak Tahu: Bahaya Keyakinan Kosong

Tanggal: 7 Mei 2025 20:54 wib.
Tampang.com | 

Ada satu fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat, apalagi di era media sosial: orang-orang yang baru tahu sedikit, tapi sudah merasa tahu banyak. Baru selesai nonton satu video, langsung berani debat panjang. Baru baca satu artikel, langsung merasa paling benar. Seringkali bukan karena niat buruk, tapi karena kita nggak sadar bahwa keyakinan juga bisa dibentuk dari pengetahuan yang dangkal.

Ini disebut dengan “illusion of knowledge” — ketika kita merasa sudah mengerti, padahal pemahaman kita sebenarnya masih permukaan. Ini terjadi karena otak kita punya kecenderungan untuk mencari kepastian, dan kepastian itu bisa muncul bahkan dari informasi yang belum lengkap. Kita pengin cepat merasa aman, cepat merasa paham. Tapi akibatnya, kita sering berhenti belajar lebih dalam.

Masalahnya, rasa paling tahu ini bisa menutup peluang untuk bertumbuh. Saat merasa sudah benar, kita jadi sulit mendengarkan. Saat merasa lebih tahu dari orang lain, kita jadi cepat menghakimi. Akhirnya, ruang untuk bertukar pikiran tertutup, karena kita sibuk membuktikan bahwa diri sendiri yang paling cerdas.

Padahal kalau kita jujur, ilmu itu nggak pernah habis. Kita bisa belajar hal baru dari siapa saja: dari orang yang lebih muda, lebih tua, bahkan dari orang yang pandangannya bertolak belakang. Tapi itu hanya bisa terjadi kalau kita cukup rendah hati untuk mengakui, “Mungkin aku belum tahu semuanya.”

Salah satu langkah penting adalah belajar untuk tahan dulu sebelum menyimpulkan. Jangan buru-buru merasa yakin hanya karena informasi itu sejalan dengan pikiran kita. Jangan langsung merasa paham hanya karena itu terdengar familiar. Makin kita sadar bahwa pengetahuan itu dalam dan luas, makin kecil kemungkinan kita terjebak dalam keyakinan kosong.

Rasa paling tahu juga bisa berdampak pada hubungan sosial. Teman-teman bisa menjauh karena merasa tidak didengarkan. Orang lain bisa malas berdiskusi karena kita selalu ingin menang argumen. Tanpa sadar, kita menciptakan tembok antara diri sendiri dan lingkungan hanya karena gengsi untuk mengakui bahwa kita juga masih belajar.

Belajar menunda keyakinan itu butuh latihan. Mulai dari banyak bertanya, bukan hanya menjawab. Banyak membaca, bukan hanya mengomentari. Dan yang paling penting: sering-sering bercermin, “Apa yang aku percaya ini benar-benar hasil pemikiran mendalam, atau cuma ikut-ikutan dari lingkungan?”

Kita nggak perlu tahu semuanya untuk dihargai. Kita hanya perlu jujur bahwa kita sedang dalam proses. Dan proses itu bukan tanda kelemahan—itu bukti bahwa kita hidup dengan kepala dan hati yang terbuka. Di zaman yang penuh informasi seperti sekarang, justru mereka yang berani mengakui belum tahu, adalah orang-orang yang paling siap belajar.

Jadi, sebelum kamu merasa paling tahu soal cinta, politik, agama, atau apapun yang sedang tren, coba tahan sebentar. Tanya dulu, “Sudah cukup dalam belum pengetahuanku?” Kalau belum, nikmati proses belajarnya. Karena yang benar-benar tahu, biasanya justru paling tenang dan paling sedikit merasa perlu membuktikan diri.

Dan di situlah, kedewasaan berpikir mulai tumbuh—dari keberanian untuk merasa tidak tahu.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved