Sumber foto: iStock

Menguak Alasan Mengejutkan Mengapa Orang Barat Lebih Memilih Cebok Pakai Tisu daripada Air

Tanggal: 13 Mei 2025 23:53 wib.
Perbedaan cara membersihkan diri setelah buang air besar menjadi salah satu contoh nyata bagaimana budaya membentuk kebiasaan hidup manusia. Jika di Indonesia dan sebagian besar negara Asia penggunaan air untuk cebok dianggap hal biasa, maka di negara-negara Barat sebaliknya—tisu toilet menjadi pilihan utama. Namun, apa sebenarnya alasan di balik kebiasaan ini?

Fenomena ini tak sekadar persoalan pilihan pribadi, melainkan akumulasi dari sejarah panjang, faktor geografis, kondisi iklim, hingga pengaruh agama dan pola konsumsi. Dunia seakan terbagi dua dalam urusan toilet: tim air dan tim tisu. Bagi masyarakat Timur, menggunakan air untuk kebersihan adalah bagian dari budaya dan ajaran agama. Sedangkan di negara-negara Barat, penggunaan tisu toilet telah menjadi norma yang sulit diubah.

Jika menilik sejarah, tradisi membersihkan diri setelah buang air sudah berlangsung sejak peradaban kuno. Menariknya, metode yang digunakan sangat bervariasi, tergantung pada apa yang tersedia di lingkungan sekitar. Ada yang menggunakan air, dedaunan, rumput, batu, bahkan tangan kosong. Masyarakat Romawi Kuno, misalnya, tercatat menggunakan batu atau spons yang dibasahi sebagai alat pembersih. Sementara di wilayah Timur Tengah, penggunaan air sudah menjadi bagian dari ajaran agama sejak dahulu kala.

Hal yang mungkin mengejutkan adalah fakta bahwa tisu toilet pertama kali bukan muncul di dunia Barat, melainkan di Tiongkok. Berdasarkan riset berjudul “Toilet hygiene in the classical era” (2012), penduduk China pada masa lampau sudah mengembangkan tisu sebagai evolusi dari penemuan kertas. Tisu tersebut semula bukan ditujukan secara khusus untuk cebok, tetapi lambat laun digunakan untuk berbagai keperluan termasuk kebersihan setelah buang air.

Sementara di dunia Barat, tisu toilet baru dikenal pada abad ke-16 dan diperkenalkan pertama kali oleh penulis asal Prancis, François Rabelais. Namun saat itu, tisu dianggap tidak efektif sebagai alat pembersih setelah buang air besar. Meski demikian, seiring perkembangan teknologi dan industri, penggunaan tisu toilet semakin meluas, apalagi setelah kemunculan tisu gulung komersial pada tahun 1890.

Mengapa tisu tetap menjadi pilihan utama di negara-negara Barat, meskipun banyak riset menyebutkan bahwa penggunaan air jauh lebih bersih dan higienis?

Jawabannya terletak pada faktor iklim. Negara-negara Barat, terutama yang berada di wilayah dengan cuaca dingin, memiliki suhu yang tidak bersahabat untuk bersentuhan langsung dengan air, terutama saat musim dingin. Menggunakan air dingin untuk cebok bisa menjadi pengalaman yang sangat tidak nyaman. Maka, tisu pun menjadi alternatif yang lebih praktis dan "hangat".

Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di wilayah tropis seperti Asia dan Afrika cenderung tidak merasa keberatan dengan air, bahkan merasa tidak bersih jika tidak cebok dengan air. Penggunaan air dalam budaya kebersihan ini juga didukung oleh ajaran agama, seperti Islam dan Hindu, yang mewajibkan pembersihan menggunakan air sebagai bagian dari kesucian diri.

Faktor lain yang turut membentuk kebiasaan ini adalah pola makan. Masyarakat Barat umumnya mengonsumsi makanan rendah serat dan lebih kering, sehingga buang air besar tidak menghasilkan kotoran dalam jumlah besar. Dengan kondisi seperti itu, penggunaan tisu dianggap sudah cukup untuk membersihkan. Sementara masyarakat di wilayah Timur, yang lebih banyak mengonsumsi makanan tinggi serat seperti sayur, buah, dan rempah-rempah, menghasilkan kotoran yang lebih banyak dan lembek. Akibatnya, air menjadi alat yang lebih efektif dan memadai untuk membersihkan kotoran tersebut.

Dari sisi medis dan ilmiah, penggunaan air dinyatakan lebih higienis dibandingkan hanya menggunakan tisu. Air mampu menghilangkan kuman dan bakteri secara lebih menyeluruh. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan bahwa penggunaan tisu secara terus-menerus dapat menyebabkan iritasi, terutama pada area kulit yang sensitif.

Namun, meskipun air terbukti lebih bersih dan efektif, budaya dan kebiasaan yang mengakar dalam masyarakat Barat membuat penggunaan tisu sulit tergantikan. Tisu telah menjadi bagian dari gaya hidup, tertanam dalam pendidikan, keluarga, hingga standar fasilitas umum mereka.

Menariknya, saat ini mulai ada perubahan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kebersihan dan dampak lingkungan dari limbah tisu, beberapa masyarakat Barat mulai terbuka terhadap alternatif seperti bidet atau semprotan air. Bahkan, beberapa hotel dan rumah mewah di negara Barat mulai memasang toilet dengan semprotan otomatis seperti yang lazim ditemukan di Asia.

Pada akhirnya, kebiasaan cebok—apakah menggunakan air atau tisu—lebih dari sekadar pilihan praktis. Ia merupakan cerminan dari sejarah, lingkungan, dan nilai budaya yang dibawa oleh masyarakatnya. Dan meskipun teknologi serta pengetahuan telah menunjukkan bahwa air lebih bersih, transisi dari tisu ke air tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu, edukasi, dan tentu saja, perubahan cara pandang.

Jadi, kini Anda tahu mengapa orang bule lebih suka cebok pakai tisu: bukan karena tidak tahu cara yang lebih bersih, tetapi karena sejarah, budaya, dan iklim telah membentuk kebiasaan itu selama berabad-abad.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved