Menghindari Toxic Positivity: Cara Mendengar Curhat Tanpa Menyakiti
Tanggal: 14 Apr 2025 15:28 wib.
Tampang.com | Kalimat motivasi seperti “Yuk bisa yuk!” atau “Kamu harus semangat dong!” terdengar positif, tapi dalam beberapa situasi, justru bisa terasa menyakitkan. Apa yang dimaksud dengan toxic positivity? Fenomena ini terjadi ketika ada tekanan untuk selalu berpikir positif dan tampak kuat, tanpa memberi ruang bagi perasaan dan emosi yang lebih nyata. Padahal, terkadang yang dibutuhkan seseorang bukanlah motivasi, melainkan pengakuan bahwa perasaan mereka itu sah.
Menurut Psikolog Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Dr. Riana Mashar, S.Psi., M.Si., toxic positivity dapat merusak kualitas komunikasi dan membuat kondisi emosional seseorang semakin buruk. “Sering kali, yang dibutuhkan bukan solusi atau nasihat, tapi kehadiran dan pengakuan bahwa emosi mereka valid,” jelasnya dalam wawancara dengan Kompas.com.
Kenapa Harus Menghindari Toxic Positivity?
Tujuan dari kalimat positif seperti "Yuk semangat!" atau "Kamu harusnya bersyukur" biasanya baik, yaitu untuk memberikan semangat. Namun, ketika kata-kata tersebut diucapkan tanpa memperhatikan perasaan atau konteks, justru bisa terasa seperti penyangkalan terhadap apa yang dirasakan seseorang. Kalimat seperti “Kamu harusnya bersyukur” atau “Orang lain lebih susah, lho,” bisa membuat seseorang merasa bersalah hanya karena sedang merasa sedih.
Akibatnya, perasaan tersebut bisa terpendam atau bahkan membuat seseorang menarik diri dari lingkungan sekitar. Mereka mungkin merasa tidak dimengerti dan akhirnya menutup diri, padahal yang mereka butuhkan adalah pengakuan dan ruang untuk merasakan emosi mereka.
Tanda-tanda Toxic Positivity
Tanpa disadari, baik kita sendiri maupun orang lain bisa terjebak dalam toxic positivity. Berikut adalah beberapa tanda-tanda yang perlu diwaspadai:
Memberikan nasihat positif tanpa mendengarkan secara utuh
Sering kali kita langsung memberikan saran atau motivasi sebelum benar-benar mendengarkan apa yang dirasakan orang lain.
Merasa bersalah saat sedih atau kecewa
Perasaan seperti ini muncul karena merasa harus selalu bahagia dan positif, meskipun terkadang kita memang butuh waktu untuk meresapi emosi negatif.
Memaksa diri untuk selalu tersenyum dan terlihat baik-baik saja
Dalam tekanan, kita merasa bahwa kita harus selalu tampak kuat, meskipun sebenarnya kita sedang merasa rapuh.
Menghindari teman yang sedang curhat karena takut merasa "terbebani"
Kita mungkin enggan mendengarkan keluh kesah orang lain karena khawatir akan memberi dampak emosional pada diri kita.
Cara Menjadi Pendengar yang Baik Tanpa Jatuh ke Toxic Positivity
Menjadi pendengar yang baik tidak selalu tentang memberi nasihat. Berikut beberapa cara yang bisa membantu kamu menjadi teman yang lebih empatik:
Tahan Keinginan untuk Memberi Nasihat
Kadang, yang dibutuhkan bukan solusi, tetapi hanya didengar. Cukup dengan berkata, “Aku paham perasaanmu,” bisa jauh lebih menenangkan daripada memberi ribuan saran.
Validasi Perasaan, Bukan Menilainya
Hindari kalimat seperti “Kamu terlalu sensitif” atau “Jangan terlalu cemas.” Sebaliknya, coba ucapkan, “Wajar kok kalau kamu merasa gitu.” Ini membantu orang merasa aman dan tidak dihakimi.
Tawarkan Dukungan, Bukan Dorongan Berlebihan
Alih-alih mengatakan, “Ayo dong, jangan gitu terus!” yang bisa menambah tekanan, coba tawarkan dukungan seperti, “Aku ada di sini kalau kamu butuh ditemani.”
Amati Bahasa Tubuh dan Ekspresi Wajah
Menjadi pendengar yang baik berarti lebih dari sekedar mendengar dengan telinga. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan nada suara sering kali bisa menyampaikan lebih banyak daripada kata-kata.
Jangan Keras pada Diri Sendiri
Toxic positivity juga dapat muncul dalam diri kita sendiri. Saat kita merasa tertekan, kita mungkin memaksa diri untuk tetap ceria. Ingat, “Kamu boleh merasa sedih. Kamu boleh merasa lelah. Itu manusiawi,” kata Dr. Riana. Mengizinkan diri merasakan emosi negatif adalah langkah penting dalam proses penyembuhan.
Hadir, Dengar, dan Pahami
Menjadi pendengar yang baik tak berarti harus sempurna. Yang penting adalah kita hadir sepenuhnya, tidak menghakimi, dan memberi ruang aman bagi orang lain untuk menjadi dirinya sendiri. Sering kali, yang lebih dibutuhkan bukan kalimat penyemangat, melainkan seseorang yang mau duduk diam, mendengar dengan hati, dan berkata, “Aku di sini, kamu nggak sendirian.”
Dengan memahami dan menghindari toxic positivity, kita bisa menciptakan hubungan yang lebih mendalam dan saling mendukung.