Sumber foto: Canva

Mengapa Koruptor Tidak Pernah Puas: Menyelami Psikologi Ketamakan

Tanggal: 25 Agu 2025 23:01 wib.
Korupsi adalah fenomena yang merusak, namun ada satu pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang: mengapa para koruptor seolah tidak pernah merasa puas, bahkan ketika harta mereka sudah melimpah? Fenomena ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan masalah kurangnya integritas, tetapi juga melibatkan dimensi psikologis yang rumit. Di balik setiap tindakan korupsi yang berulang, ada pola pikir, dorongan internal, dan dinamika sosial yang mendorong mereka terus mengejar kekuasaan dan kekayaan tanpa batas.

Perilaku Adiktif dan Dopamin

Salah satu sudut pandang yang paling relevan untuk memahami ketidakpuasan koruptor adalah melalui lensa psikologi adiktif. Mirip dengan pecandu narkoba atau penjudi, tindakan korupsi bisa memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang memicu perasaan senang dan penghargaan di otak. Setiap kali koruptor berhasil melakukan aksinya dan mendapatkan keuntungan, otak mereka menerima "hadiah" berupa lonjakan dopamin. Perasaan euforia sesaat ini mendorong mereka untuk mengulang perilaku yang sama demi mendapatkan dosis dopamin berikutnya.

Seiring waktu, otak menjadi terbiasa dengan lonjakan dopamin tersebut. Akibatnya, mereka membutuhkan "dosis" yang lebih besar, yaitu nilai korupsi yang lebih tinggi, untuk mencapai tingkat kepuasan yang sama. Inilah yang menjelaskan mengapa seorang koruptor yang sudah memiliki triliunan rupiah masih saja tertangkap basah menerima suap recehan. Mereka tidak lagi didorong oleh kebutuhan finansial, melainkan oleh ketergantungan psikologis pada sensasi keberhasilan dan kekuatan yang menyertai tindakan korupsi.

Ketakutan Kehilangan Status dan Kekuasaan

Korupsi sering kali tidak hanya tentang uang, tetapi juga tentang kekuasaan dan status sosial. Harta yang didapatkan melalui cara tidak halal ini menjadi alat untuk mengukuhkan posisi, membeli pengaruh, dan menjaga citra di mata masyarakat atau lingkaran sosial mereka. Bagi para koruptor, kekayaan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan.

Ketidakpuasan mereka bukan lagi soal kekurangan, melainkan ketakutan irasional akan kehilangan. Mereka terus mengumpulkan lebih banyak kekayaan untuk memastikan kekuasaan mereka tidak tergoyahkan. Ada paranoia konstan bahwa musuh politik atau pesaing bisnis akan merebut posisi mereka. Dengan menumpuk lebih banyak harta, mereka merasa lebih aman dan tak terjangkau. Ketamakan ini adalah mekanisme pertahanan yang dibangun di atas fondasi ketakutan dan rasa tidak aman.

Pola Pikir Narsistik dan Dehumanisasi

Beberapa studi psikologis juga mengaitkan korupsi dengan pola pikir narsistik atau antisosial. Individu dengan karakteristik narsistik cenderung merasa diri mereka istimewa, lebih unggul dari orang lain, dan berhak mendapatkan perlakuan istimewa. Mereka percaya bahwa aturan dan etika tidak berlaku untuk mereka. Korupsi adalah manifestasi dari keyakinan ini, di mana mereka menganggap wajar mengambil hak orang lain demi kepentingan pribadi.

Selain itu, ada proses dehumanisasi yang sering terjadi. Koruptor cenderung melihat korban mereka (masyarakat, negara) bukan sebagai entitas yang hidup dan bernyawa, melainkan sebagai objek atau sistem yang bisa dieksploitasi. Dengan memisahkan diri secara emosional dari dampak perbuatan mereka, rasa bersalah dan empati pun terkikis. Ini memungkinkan mereka untuk terus berbuat curang tanpa dihantui oleh hati nurani, sehingga dorongan untuk terus mengumpulkan harta tidak terhambat oleh moralitas.

Lingkaran Setan Kebutuhan Tak Terbatas

Di luar faktor psikologis individu, lingkungan sosial juga punya peran besar. Koruptor seringkali hidup dalam lingkaran sosial yang juga menghargai kekayaan dan kemewahan. Ada tekanan untuk memelihara gaya hidup mewah, membeli barang-barang mahal, dan menginvestasikan kekayaan di luar negeri. Ini bukan lagi soal memenuhi kebutuhan, melainkan soal perlombaan status yang tak pernah berakhir.

Ketidakpuasan mereka bukan karena mereka miskin, melainkan karena mereka merasa selalu ada "kekurangan" jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih kaya atau berkuasa. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan di mana mereka terus mencari lebih banyak uang untuk mengejar standar yang selalu meningkat, sebuah pencarian yang mustahil untuk dipuaskan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved