Sumber foto: iStock

Mengapa Banyak Orang Enggan Menikah? Fenomena Jomblo Matang di Indonesia

Tanggal: 17 Feb 2025 22:48 wib.
Perubahan Tren Pernikahan di Indonesia

Di era modern, semakin banyak individu yang memilih untuk tetap melajang meskipun memiliki kehidupan yang mapan. Aldo, seorang arsitek berusia 35 tahun dengan gelar master dari universitas bergengsi di Inggris, memiliki penghasilan stabil dan kehidupan sosial yang aktif. Namun, ia tetap melajang dan sering mendapat tekanan dari keluarga yang mempertanyakan kapan ia akan menikah.

Pengalaman pahit dalam percintaan, seperti ghosting setelah mencoba aplikasi kencan online, membuat Aldo lebih memilih fokus pada kariernya. Ia tidak sendirian. Banyak generasi milenial yang menghadapi tantangan serupa dalam menjalin hubungan asmara, yang berkontribusi pada penurunan angka pernikahan di Indonesia.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, angka pernikahan di Indonesia terus menurun selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2023, tercatat 1,58 juta pernikahan, turun 7,51% dibandingkan tahun sebelumnya.

Tantangan dalam Modern Dating

Kemajuan teknologi menghadirkan berbagai aplikasi kencan yang seharusnya mempermudah pencarian pasangan. Namun, kenyataannya, banyak orang justru mengalami kesulitan dalam menemukan hubungan yang bermakna. Istilah seperti ghosting dan situationship menjadi fenomena yang umum terjadi, di mana seseorang menghilang tanpa penjelasan atau menjalani hubungan tanpa status yang jelas.

Nia, seorang manajer berusia 35 tahun di Jakarta, telah menggunakan berbagai aplikasi kencan selama lima tahun terakhir tanpa hasil yang memuaskan. Ketidaksesuaian nilai, pasangan yang ragu-ragu, dan kebohongan mengenai status pernikahan menjadi tantangan utama baginya.

Demi menemukan pasangan yang tepat, Nia bahkan mendaftar ke biro jodoh profesional di Singapura dengan biaya lebih dari Rp20 juta. Namun, meskipun telah melewati seleksi ketat, ia tetap belum menemukan pasangan yang cocok.

Aplikasi Kencan: Solusi atau Ilusi?

Sebuah riset yang dilakukan oleh Populix mengungkapkan bahwa 63% responden adalah pengguna aplikasi kencan online, dengan mayoritas berasal dari generasi milenial. Namun, kehadiran aplikasi ini bukanlah solusi instan dalam menemukan pasangan hidup.

Yaya, 33 tahun, menggambarkan pengalamannya menggunakan aplikasi kencan sebagai hal yang "traumatis." Ia pernah mengalami ghosting dari seseorang yang tampaknya mencari hubungan serius, namun ternyata hanya ingin cinta sesaat. Hal ini membuatnya harus menjalani sesi terapi rutin untuk memulihkan mentalnya.

Bagi Stefani, 38 tahun, aplikasi kencan tidak menarik karena ia merasa harus melakukan pengecekan latar belakang setiap orang yang ditemuinya. Ia lebih memilih bertemu pasangan dari lingkaran sosial yang sudah dikenalnya. Feri, 29 tahun, bahkan berpendapat bahwa algoritma aplikasi kencan tidak dirancang untuk menemukan pasangan hidup, melainkan untuk mempertahankan keterlibatan pengguna.

Faktor Ekonomi Bukan Penyebab Utama

Banyak yang beranggapan bahwa kesulitan ekonomi menjadi penyebab utama seseorang memilih untuk tidak menikah. Namun, riset yang dilakukan oleh Bumble menunjukkan bahwa ketidakpastian masa depan—seperti kestabilan pekerjaan, perumahan, dan perubahan iklim—juga berpengaruh besar terhadap keputusan seseorang dalam menjalin hubungan asmara.

Menariknya, banyak individu yang telah mapan secara finansial justru memilih untuk tidak terburu-buru menikah. Desi, seorang pegawai BUMN berusia 31 tahun, menegaskan bahwa ia tidak merasa perlu menikah hanya karena tekanan sosial. "Kalaupun menua sendirian, saya tetap bahagia dan bisa membahagiakan diri sendiri," ujarnya.

Psikolog klinis Rebeka Pinaima menjelaskan bahwa sulitnya membangun genuine connection menjadi faktor utama mengapa hubungan asmara semakin kompleks di era digital. Percakapan yang terjadi di dunia maya cenderung dangkal dan sulit untuk menciptakan keterikatan emosional yang kuat.

Fenomena Dating Fatigue

Salah satu masalah yang sering muncul dalam pencarian pasangan di era digital adalah dating fatigue. Bumble mendeskripsikan kondisi ini sebagai kelelahan emosional akibat terus-menerus mencari pasangan namun tidak menemukan hasil yang memuaskan. Fenomena ini berkaitan dengan paradox of choice, di mana terlalu banyak pilihan justru membuat seseorang lebih sulit mengambil keputusan dan merasa kurang puas dengan pilihannya.

Rebeka menjelaskan bahwa semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin sulit bagi seseorang untuk fokus dan serius dalam mengenal pasangan. Banyak pengguna aplikasi kencan yang berbicara dengan beberapa orang sekaligus, tetapi akhirnya tidak benar-benar mendalami hubungan dengan salah satu dari mereka.

Jomblo yang Berdaya dan Bahagia

Menjadi lajang di usia matang kini bukan lagi sesuatu yang dianggap negatif. Banyak individu yang justru melihatnya sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengejar karier tanpa distraksi. Tanti, 36 tahun, mengaku bahwa status lajangnya membantunya lebih fokus dalam pekerjaan.

Menurut Rebeka, konsep self-compassion atau menerima diri sendiri adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang bahagia, baik dengan pasangan maupun tanpa pasangan. Ia menyarankan para lajang untuk bergabung dalam komunitas atau mengeksplorasi hobi baru agar tetap memiliki keseimbangan dalam hidup.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa menikah bukanlah sebuah kompetisi. Setiap individu memiliki waktunya masing-masing, dan tidak menikah bukan berarti seseorang gagal dalam hidup. "Menjadi lajang bisa jadi adalah bentuk rezeki yang sedang diberikan saat ini," tuturnya.

Fenomena menurunnya angka pernikahan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh perubahan pola pikir dan tantangan dalam menemukan pasangan yang sesuai di era digital. Dengan berbagai pengalaman yang dialami individu seperti Aldo, Nia, dan Desi, semakin jelas bahwa pernikahan bukan lagi sekadar tuntutan sosial, melainkan pilihan yang harus didasarkan pada kesiapan dan keinginan pribadi.

Bagi banyak orang, kebahagiaan tidak harus datang dari pernikahan. Fokus pada pengembangan diri, membangun koneksi yang tulus, dan memahami bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing menjadi kunci untuk hidup bahagia, baik dengan pasangan maupun sendiri.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved