Membangun Lingkungan Sekolah yang Sehat untuk Menghapus Budaya Perundungan

Tanggal: 1 Sep 2025 14:14 wib.
Fenomena perundungan atau bullying masih menjadi masalah serius di dunia pendidikan Indonesia. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, kasus perundungan di sekolah melonjak menjadi 573 kasus, meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2023. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2020 yang hanya mencatat 91 kasus. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa meskipun dunia pendidikan semakin maju dari sisi fasilitas dan teknologi, permasalahan moral, etika, dan perilaku sosial siswa masih membutuhkan perhatian mendalam.

Menurut Kepala Sekolah Sekolah Terpadu Sedaya Bintang Summarecon Bandung, Melva Manalu, pencegahan bullying tidak bisa hanya dilakukan dengan aturan disiplin yang keras, tetapi harus dimulai dengan membangun ekosistem sekolah yang positif. Ia menekankan pentingnya internalisasi nilai-nilai luhur seperti sopan santun, rasa hormat, welas asih, kejujuran, keadilan, dan kebenaran sejak usia dini. Penanaman nilai-nilai tersebut, kata Melva, harus dilakukan secara konsisten sehingga mampu terintegrasi ke dalam perilaku sehari-hari anak-anak. Dengan demikian, anak tidak hanya mengetahui apa itu sikap baik, tetapi juga membiasakan diri untuk melakukannya.

Lingkungan sekolah yang sehat, menurutnya, dapat terbentuk melalui kegiatan bersama yang melibatkan semua siswa tanpa terkecuali. Kegiatan-kegiatan seperti olahraga tim, klub ekstrakurikuler, hingga aksi sosial dapat menumbuhkan rasa kebersamaan sekaligus melatih empati dan kepedulian sosial. Di sinilah peran guru menjadi sangat penting. Guru bukan hanya pengajar materi akademik, melainkan juga teladan nyata dalam sikap sehari-hari. Anak-anak belajar cara menghormati, bersabar, bersikap adil, serta menghargai perbedaan dengan mengamati perilaku guru mereka. Dengan kata lain, keteladanan guru adalah kurikulum yang hidup dan nyata.

Namun, upaya menciptakan sekolah yang bebas perundungan tidak hanya menjadi tanggung jawab guru dan sekolah. Orang tua memiliki peran yang sama besarnya dalam menanamkan nilai budi pekerti di rumah. Melva menegaskan, pendidikan karakter di lingkungan keluarga menjadi pondasi yang memperkuat pembelajaran di sekolah. Ketika anak dibiasakan menghargai orang lain, bersikap sopan, serta mengendalikan emosi di rumah, maka mereka akan membawa kebiasaan itu ke sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Pendidikan moral sejak dini akan menjadi langkah preventif untuk menekan munculnya perilaku yang tidak sesuai dengan norma, termasuk tindakan perundungan.

Sebagai salah satu bentuk nyata upaya menciptakan sekolah yang ramah anak, Sekolah Terpadu Sedaya Bintang menerapkan Kurikulum Budi Pekerti. Dalam kurikulum ini, tema-tema seperti empati, rasa hormat, dan penyelesaian konflik diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sehari-hari. Siswa diajarkan untuk menghargai perbedaan, baik dari segi kemampuan, latar belakang, maupun penampilan, sehingga tidak mudah mengejek atau merendahkan orang lain. Melva menambahkan, anak yang terbiasa memiliki empati akan menolak dengan sendirinya tindakan kekerasan fisik maupun verbal. Misalnya, anak yang mampu memahami perasaan orang lain tidak akan tega menertawakan temannya yang kesulitan belajar atau berbeda secara fisik.

Implementasi kurikulum budi pekerti ini juga mendorong terbentuknya lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan penuh kehangatan. Siswa dilatih untuk saling membantu, saling menguatkan, dan membangun solidaritas sehingga sekolah tidak lagi menjadi tempat yang menakutkan, melainkan ruang yang menyenangkan untuk tumbuh bersama.

Sekolah Terpadu Sedaya Bintang sendiri baru akan beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026, berlokasi di kawasan Summarecon Bandung. Sekolah ini menyelenggarakan pendidikan mulai dari Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK), hingga Sekolah Dasar (SD), dan secara bertahap akan berkembang ke jenjang SMP dan SMA. Dalam pengembangan kurikulumnya, sekolah ini berafiliasi dengan Sekolah Terpadu Pahoa yang telah menggunakan kombinasi kurikulum Pearson Edexcel, kurikulum nasional, serta pengajaran intensif dalam tiga bahasa: Indonesia, Mandarin, dan Inggris. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa penguasaan akademik tetap dijalankan seiring dengan penguatan karakter siswa.

Fakta lapangan juga mendukung pentingnya pembentukan karakter anak melalui kurikulum dan lingkungan sekolah. Studi yang dilakukan oleh Bogart dkk. (2014) menunjukkan bahwa korban bullying kerap mengalami gangguan kesehatan mental, penyalahgunaan obat-obatan, penurunan motivasi sekolah, prestasi belajar yang merosot, hingga kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam jangka panjang, korban bullying bahkan berisiko menjadi pelaku perundungan di kemudian hari atau melakukan tindakan balas dendam yang lebih berbahaya. Dampak-dampak negatif ini sangat mungkin terbawa hingga masa dewasa, menghambat perkembangan pribadi maupun profesional mereka.

Dengan melihat kenyataan tersebut, jelaslah bahwa membangun lingkungan sekolah yang positif adalah kunci utama untuk menghapus budaya perundungan. Upaya kolektif antara sekolah, guru, orang tua, serta masyarakat luas menjadi langkah strategis agar sekolah benar-benar menjadi rumah kedua yang aman, penuh kasih, dan mendidik karakter anak-anak bangsa.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved