Membaca Buku vs. Scrolling Media Sosial: Dua Aktivitas, Dampak yang Berbeda pada Otak dan Mental

Tanggal: 1 Sep 2025 14:25 wib.
Membaca buku dan menghabiskan waktu dengan menggulir layar media sosial sama-sama bisa disebut sebagai aktivitas membaca, namun keduanya ternyata memberikan dampak yang sangat berbeda bagi kesehatan mental maupun kognitif seseorang. Hal itu dijelaskan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta, dr. Jiemy Ardian Sp.KJ, dalam sebuah acara literasi di Jakarta. Ia menekankan bahwa membaca buku sejatinya merupakan bagian dari sebuah terapi kejiwaan yang dikenal dengan istilah biblioterapi, yakni bentuk penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan mental melalui bacaan.

Menurut dr. Jiemy, membaca buku terutama buku fisik melatih otak untuk fokus, sabar, serta berpikir secara mendalam. Proses ini menuntut keterlibatan penuh pembaca, mulai dari membayangkan isi cerita, menyerap makna, hingga menganalisis alur atau gagasan yang ditawarkan penulis. Dengan kata lain, membaca buku bukan hanya tentang menerima informasi, tetapi juga tentang melatih imajinasi dan kemampuan berpikir kritis. Hal ini berbeda jauh dengan aktivitas “scrolling” di media sosial, yang lebih menekankan pada stimulasi instan. Desain konten vertikal di berbagai platform digital sengaja dibuat cepat, singkat, dan adiktif, sehingga pengguna terbiasa untuk langsung beralih jika dalam hitungan detik suatu konten tidak menarik perhatian.

Kebiasaan ini, lanjutnya, menyebabkan attention span atau rentang konsentrasi manusia semakin menurun. Otak dilatih untuk hanya mau menerima sesuatu yang singkat, cepat, dan padat, sehingga ketika berhadapan dengan bacaan yang lebih panjang, muncul rasa tidak sabar. Inilah yang kemudian membuat banyak orang kesulitan untuk fokus membaca teks panjang, bahkan cenderung menghindari aktivitas membaca buku yang sebenarnya memberi manfaat lebih besar bagi kesehatan mental. Fenomena ini kian mengkhawatirkan di era digital, di mana media sosial mendominasi ruang perhatian masyarakat, terutama generasi muda yang tumbuh bersama gawai dan internet.

Dr. Jiemy menambahkan, perbedaan mendasar lainnya terletak pada sisi imajinasi. Membaca buku memaksa otak pembaca untuk menciptakan gambaran sendiri dari teks yang ia baca. Misalnya ketika membaca novel, otak membangun imajinasi tentang karakter, latar, hingga emosi yang diceritakan penulis. Sementara di media sosial, mayoritas konten sudah disajikan dalam bentuk visual yang siap konsumsi, sehingga ruang untuk berimajinasi nyaris tidak ada. Akibatnya, kebiasaan scrolling yang berlebihan bisa menjadikan seseorang reaktif, tidak sabar, dan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara mendalam.

Maka dari itu, di tengah derasnya arus konten digital, meluangkan waktu untuk membaca buku bukan hanya sekadar hobi intelektual, melainkan sebuah investasi penting untuk kesehatan mental. Membaca secara konsisten bisa menjadi penyeimbang, agar seseorang tidak sepenuhnya larut dalam pola konsumsi informasi instan. Dengan membaca, individu dapat melatih empati, menumbuhkan kedalaman berpikir, serta menjaga otak tetap tajam di tengah bombardir konten singkat yang kerap memicu distraksi.

Meski begitu, dr. Jiemy mengingatkan bahwa bacaan yang dipilih tidak harus selalu buku berat. Bacaan ringan, seperti komik atau manga populer, tetap bisa memberikan manfaat bagi kesehatan mental, asalkan dibaca dengan cara yang benar. Dalam kesempatan itu ia bahkan menyinggung pengalamannya sendiri yang baru mengetahui keberadaan cetak fisik dari seri One Punch Man, sebuah komik populer yang ia sebutkan bersama karakter Flashy Flash. “Saya akan beli habis ini,” ujarnya sembari menekankan bahwa esensi dari membaca adalah membangun kebiasaan yang sehat, bukan sekadar memilih bacaan dengan label “serius” atau “ilmiah”.

Pada akhirnya, perbedaan manfaat membaca buku dan scrolling media sosial terletak pada kedalaman proses yang dilalui otak. Buku melatih fokus, kesabaran, imajinasi, dan kemampuan berpikir kritis, sedangkan scrolling media sosial, jika berlebihan, justru membuat otak terbiasa dengan stimulasi singkat yang berpotensi menurunkan konsentrasi dan kesabaran. Dalam keseharian, keduanya mungkin tetap bisa berjalan berdampingan, namun keseimbangan perlu dijaga agar manusia tidak kehilangan esensi berpikir yang mendalam di era serba instan ini.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved