Media Sosial, Ruang Interaksi yang Bisa Jadi Beban Ganda Bagi Remaja

Tanggal: 1 Sep 2025 14:24 wib.
Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda masa kini. Bagi remaja, platform digital itu sering dipandang sebagai jembatan untuk terhubung dengan teman, berbagi pengalaman, bahkan menemukan inspirasi dan hiburan. Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, media sosial juga menyimpan sisi gelap yang berpotensi menimbulkan tekanan mental cukup serius, terutama karena sifatnya yang menghadirkan perbandingan tanpa henti dan standar kebahagiaan yang sering kali tidak realistis.

Psikolog Christie Saju dari platform layanan kesehatan mental LISSUN, dalam wawancara yang dikutip Hindustan Times pada Kamis (28/8), mengingatkan bahwa remaja sebenarnya sedang berada di fase penting pembentukan identitas diri. Pada fase ini, mereka sangat rentan terpengaruh oleh apa yang dilihat dan dikonsumsi setiap hari. Media sosial, menurutnya, kerap menghadirkan potongan-potongan kehidupan orang lain yang tampak sempurna prestasi akademik yang gemilang, pertemanan yang ramai, gaya hidup glamor, hingga penampilan fisik yang ideal.

Ketika remaja membandingkan kehidupan nyata mereka dengan gambaran digital yang penuh ilusi itu, lahirlah rasa tidak cukup, minder, bahkan putus asa. Christie menekankan bahwa harga diri remaja bisa dengan mudah tergantung pada validasi eksternal yang diwujudkan dalam bentuk jumlah “likes”, komentar, atau seberapa sering unggahan mereka dibagikan. Standar popularitas semu tersebut, katanya, menciptakan tekanan tambahan yang kadang tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata terhadap kesehatan mental.

Selain itu, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) turut memperberat kondisi remaja. Keinginan untuk selalu hadir, selalu mengikuti tren, dan takut ketinggalan momen membuat mereka terus-menerus merasa harus online. Batas antara ruang sekolah, rumah, dan kehidupan sosial pun menjadi kabur. Akibatnya, banyak remaja kehilangan waktu untuk beristirahat, bahkan merasa terikat dengan kewajiban digital yang seakan tidak ada habisnya.

Tak hanya itu, ancaman perundungan siber (cyberbullying) dan penghinaan di ruang publik digital menambah lapisan stres yang konstan. Berbeda dengan ejekan di dunia nyata yang mungkin berhenti di lingkungan tertentu, penghinaan di media sosial bisa berlangsung terus-menerus, disaksikan banyak orang, dan meninggalkan jejak digital yang sulit dihapus. Situasi ini dapat memunculkan rasa malu, kecemasan, hingga trauma berkepanjangan.

Christie juga menyoroti adanya beban ganda yang dialami remaja masa kini: di satu sisi mereka dituntut untuk berprestasi di bidang akademik, sementara di sisi lain merasa harus tampil sempurna di dunia maya. Kombinasi keduanya menciptakan tekanan psikologis yang tidak ringan. “Upaya mempertahankan persona daring yang ideal sambil mengejar capaian tinggi dalam kehidupan nyata dapat berujung pada kecemasan yang intens serta kelelahan emosional,” jelasnya.

Namun, menurutnya, solusi tidak terletak pada menyalahkan teknologi atau menjelek-jelekkan media sosial, melainkan pada upaya membangun literasi dan ketahanan digital. Remaja perlu diajarkan untuk memandang secara kritis apa yang mereka lihat di platform daring, agar tidak begitu saja percaya pada gambaran yang sering kali sudah melalui proses kurasi dan manipulasi. Selain itu, penting pula membekali mereka dengan keterampilan menetapkan batasan penggunaan media sosial, termasuk mengatur waktu layar (screen time) yang sehat.

Tak kalah penting, remaja harus diarahkan pada aktivitas dunia nyata yang bisa memperkuat rasa percaya diri dari dalam. Olahraga, seni, keterlibatan di komunitas, atau kegiatan sosial dapat menjadi ruang alternatif untuk membangun harga diri tanpa harus mengandalkan validasi digital. Christie menekankan bahwa dukungan lingkungan sekitar keluarga, sekolah, maupun masyarakat memiliki peran penting untuk membantu remaja tumbuh lebih tangguh menghadapi dinamika era digital.

Dengan pemahaman dan pendampingan yang tepat, media sosial seharusnya dapat tetap menjadi ruang positif yang memperkaya pengalaman hidup remaja, bukan justru menjebak mereka dalam lingkaran tekanan dan perbandingan tanpa henti.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved