Masih Mending Vape daripada Rokok?: Sebuah Perbandingan Risiko
Tanggal: 11 Jul 2025 08:32 wib.
Perdebatan tentang rokok konvensional dan rokok elektrik, atau yang lebih dikenal dengan vape, terus bergulir di tengah masyarakat. Banyak pihak mengklaim bahwa vape merupakan alternatif yang "lebih aman" atau "masih mending" dibandingkan rokok tembakau tradisional. Klaim ini seringkali menjadi alasan bagi perokok untuk beralih atau bagi non-perokok untuk mencoba vape. Namun, untuk memahami perbandingan ini secara valid, diperlukan pemahaman mendalam tentang kandungan dan dampak kesehatan dari kedua produk tersebut berdasarkan bukti ilmiah terkini.
Perbedaan Kandungan dan Mekanisme Kerja
Rokok konvensional membakar daun tembakau kering, menghasilkan asap yang mengandung ribuan zat kimia berbahaya. Di antara zat-zat tersebut, sekitar 7.000 zat kimia diketahui, dan lebih dari 70 di antaranya bersifat karsinogenik (pemicu kanker). Beberapa komponen utama yang sangat berbahaya adalah tar, karbon monoksida, dan berbagai logam berat. Proses pembakaran inilah yang menghasilkan sebagian besar racun berbahaya tersebut, yang kemudian dihirup oleh perokok aktif maupun pasif.
Di sisi lain, vape atau rokok elektrik bekerja dengan memanaskan cairan (e-liquid) hingga menjadi uap atau aerosol yang kemudian dihirup. Cairan ini umumnya mengandung nikotin (meskipun ada juga yang tanpa nikotin), propilen glikol, gliserin nabati, dan perasa. Vape tidak melibatkan pembakaran tembakau. Oleh karena itu, vape tidak menghasilkan tar atau karbon monoksida yang merupakan produk pembakaran tembakau. Ini sering menjadi dasar argumen bahwa vape "lebih aman" karena menghilangkan banyak produk sampingan berbahaya dari pembakaran.
Reduksi Paparan Zat Berbahaya: Sebuah Argumen Relatif
Argumen utama yang mendukung klaim "masih mending vape daripada rokok" berpusat pada reduksi paparan zat berbahaya. Karena vape tidak membakar tembakau, memang benar bahwa pengguna vape terhindar dari paparan tar dan karbon monoksida, dua komponen paling merusak dalam asap rokok konvensional. Beberapa penelitian awal dan organisasi kesehatan tertentu, seperti Public Health England, pernah menyatakan bahwa vape "95% lebih aman" daripada rokok tembakau, meskipun angka ini seringkali disalahartikan dan diperdebatkan. Fokusnya adalah pada pengurangan risiko relatif dibandingkan dengan merokok tembakau, bukan pada klaim tanpa risiko sama sekali.
Bagi perokok dewasa yang tidak bisa atau tidak mau berhenti merokok sepenuhnya, peralihan total ke vape yang diatur ketat dapat mengurangi paparan terhadap zat-zat paling berbahaya yang ditemukan dalam asap tembakau. Dalam konteks ini, vape dipandang sebagai alat "pengurang dampak buruk" (harm reduction).
Bahaya Nikotin dan Zat Lain pada Vape
Namun, pandangan bahwa vape "lebih aman" harus diletakkan dalam konteks yang hati-hati. Nikotin, kandungan utama di sebagian besar e-liquid, adalah zat yang sangat adiktif. Kecanduan nikotin pada vape bisa sama kuatnya atau bahkan lebih kuat daripada rokok konvensional, terutama karena cairan vape dapat memiliki konsentrasi nikotin yang tinggi dan penggunanya dapat mengonsumsi lebih banyak nikotin dalam waktu singkat.
Selain nikotin, uap vape juga mengandung zat kimia lain yang berpotensi berbahaya. Perasa dalam e-liquid, seperti diasetil, telah dikaitkan dengan kondisi paru-paru serius seperti popcorn lung (bronchiolitis obliterans). Logam berat (timah, nikel, kromium) dari koil pemanas, partikel ultrahalus, dan formaldehida juga dapat ditemukan dalam uap vape. Meskipun kadarnya mungkin lebih rendah dibandingkan rokok konvensional, paparan jangka panjang terhadap zat-zat ini dapat menyebabkan iritasi paru-paru, peradangan, masalah jantung, dan potensi risiko kanker. Penelitian tentang dampak jangka panjang vape masih terus berlangsung, namun bukti yang ada menunjukkan adanya risiko kesehatan yang tidak dapat diabaikan.
Risiko Ganda dan Pintu Gerbang bagi Non-Perokok
Salah satu kekhawatiran terbesar terkait vape adalah potensinya sebagai pintu gerbang bagi non-perokok, terutama remaja, untuk menjadi pecandu nikotin. Desain menarik, variasi rasa yang beragam, dan persepsi "lebih aman" membuat vape populer di kalangan generasi muda yang sebelumnya tidak pernah merokok. Banyak remaja yang memulai dengan vape kemudian beralih ke rokok konvensional, atau menjadi "pengguna ganda" (dual user) yang mengonsumsi keduanya, sehingga paparan risiko malah berlipat ganda. Organisasi kesehatan global seperti WHO menegaskan bahwa tidak ada produk tembakau atau nikotin yang aman, dan vape tidak disarankan sebagai metode berhenti merokok yang terbukti secara ilmiah tanpa pengawasan.
Memang benar bahwa vape tidak mengandung tar atau karbon monoksida yang dihasilkan dari pembakaran tembakau, sehingga dalam beberapa aspek, paparan zat berbahaya tertentu mungkin lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Dalam konteks "pengurangan dampak buruk" bagi perokok dewasa yang tidak mampu berhenti total, vape mungkin dianggap sebagai opsi yang "masih mending" relatif terhadap rokok konvensional.
Namun, sangat penting untuk menegaskan bahwa vape tetaplah produk yang mengandung zat adiktif dan berpotensi berbahaya bagi kesehatan. Risikonya mencakup kecanduan nikotin yang parah, masalah paru-paru, masalah jantung, dan potensi risiko kanker dari zat kimia lain. Bagi non-perokok, khususnya remaja, vape sama sekali bukan pilihan yang "lebih aman" melainkan potensi awal dari kecanduan nikotin dan pintu menuju produk tembakau lainnya.