Sumber foto: Pinterest

Manis Tapi Tak Berbau, Harum Tapi Tak Berasa: Apa Kita Hanya Ilusi Kebaikan?

Tanggal: 8 Mar 2025 14:51 wib.
Dalam masyarakat yang semakin kompleks ini, istilah "kebaikan sejati" semakin sering menjadi perbincangan. Banyak di antara kita yang merasa semakin bingung antara kebaikan yang tulus dan pencitraan semata. Manis tapi tak berbau, harum tapi tak berasa. Apakah kita hanya terjebak dalam ilusi kebaikan?

Istilah kebaikan sejati mengacu pada tindakan atau sikap yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan. Kebaikan ini tumbuh dari nilai diri dan kesadaran akan pentingnya saling membantu dan mendukung satu sama lain. Namun, dengan adanya media sosial dan budaya pencitraan yang kian menguat, nilai-nilai tersebut sering tertutupi oleh kepentingan yang lebih dangkal.

Pencitraan adalah salah satu fenomena yang paling menonjol dalam era digital ini. Banyak individu dan organisasi lebih fokus pada cara mereka terlihat daripada substantif dari tindakan mereka. Seringkali, kebaikan dipamerkan di media sosial untuk mendapatkan "likes" dan pengakuan, bukan sebagai manifestasi dari kebaikan sejati. Kita melihat banyak orang yang melakukan sumbangan atau aksi sosial, tetapi ketika diteliti lebih dalam, ternyata ada agenda lain di balik tindakan tersebut.

Hal ini menciptakan ilusi kebaikan yang berbahaya. Seseorang dapat terlihat sangat baik hati ketika mereka memberikan sumbangan, tetapi jika niat di baliknya hanya untuk pencitraan atau keuntungan pribadi, maka tindakan tersebut tidak lagi memiliki nilai sejati. Dalam konteks ini, kebaikan sejati menjadi jarang ditemukan, dan kita lebih sering terjebak dalam persepsi daripada realitas.

Persoalan ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat menilai nilai diri. Sering kali, kita menilai nilai diri kita dari seberapa baik kita terlihat di mata orang lain. Hal ini membuat kita cenderung untuk berbuat baik dengan cara yang dapat dilihat dan dihargai. Padahal, kebaikan sejati sering kali terjadi dalam kesunyian, jauh dari sorotan publik. Kebaikan yang tulus adalah ketika kita membantu tanpa berharap untuk diapresiasi, ketika niat kita murni dan tindakan kita tidak terikat pada kepentingan diri.

Dengan berkembangnya budaya pencitraan ini, kita harus mulai mengingat kembali nilai-nilai dasar kebaikan. Kebaikan sejati tidak hanya tentang tindakan yang kita lakukan, tetapi juga tentang niat dan bagaimana tindakan tersebut mempengaruhi orang lain. Masyarakat perlu menyadari bahwa tidak semua kebaikan perlu diungkapkan atau dipamerkan. Terkadang, tindakan kecil yang dilakukan dengan penuh ketulusan jauh lebih berarti daripada aksi besar yang hanya untuk mendapat sorotan.

Selain itu, dalam dunia yang terus berubah, kita juga harus belajar untuk menilai kebaikan dari perspektif yang lebih luas. Kebaikan sejati dapat terjadi dalam bentuk-bentuk yang tidak terduga dan tidak selalu terlihat menarik. Kita perlu mendorong diri kita dan orang lain untuk mengejar kebaikan yang mempunyai dampak sejati, bukan hanya untuk pencitraan. 

Tentu saja, dalam perjalanan menuju kebaikan sejati ini, tantangan akan selalu ada. Kekuatan pencitraan seringkali sulit untuk dilawan, dan kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh diri sendiri maupun orang lain. Dengan kesadaran tentang perbedaan antara kebaikan sejati dan pencitraan, kita dapat lebih mudah menemukan makna sejati dalam tindakan kita, serta membangun nilai diri yang lebih positif dan autentik dalam kehidupan sehari-hari.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved