Sumber foto: Google

Krisis Pola Asuh: Ancaman Nyata bagi Masa Depan Anak Indonesia

Tanggal: 9 Mei 2025 06:38 wib.
TAMPANG.COM – Ketidakhadiran ayah atau fatherless kini menjadi isu besar dalam pola pengasuhan keluarga Indonesia. Pandangan tradisional bahwa ibu bertugas mengasuh anak sementara ayah hanya mencari nafkah, ternyata menyisakan dampak serius bagi perkembangan anak, terutama secara emosional.


Fatherless, Fenomena yang Tak Bisa Diabaikan

Menurut data UNICEF 2021, sekitar 20,9% anak Indonesia mengalami kehilangan figur ayah dalam kehidupan mereka. Ini bisa disebabkan oleh perceraian, kematian, atau ayah yang terlalu sibuk bekerja hingga tidak terlibat dalam pengasuhan. Data BPS 2022 pun menunjukkan bahwa hanya 37,17% anak usia 0-5 tahun yang diasuh oleh kedua orangtua secara aktif.

Lebih mengkhawatirkan lagi, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (BKKBN) tahun 2025 mencatat bahwa 80% anak-anak Indonesia tumbuh tanpa peran aktif ayah. Indonesia bahkan menempati posisi ketiga dunia dalam indeks fatherlessness versi Global Fatherhood Index 2021.


Dampak Buruk Pola Asuh yang Salah

Kehilangan peran ayah berdampak langsung terhadap rasa aman, kepercayaan diri, dan kemampuan sosial anak. Apalagi, banyak orangtua yang masih menerapkan pola asuh yang tidak sehat seperti otoriter, permisif, atau bahkan abai (neglectful).


Mengenal Empat Pola Asuh Menurut Psikologi

Psikolog Diana Baumrind membagi pola asuh menjadi empat jenis berdasarkan aspek kehangatan dan kontrol:



Otoritatif (Demokratis): Orangtua hangat dan tetap memberikan batasan. Anak tumbuh percaya diri dan mandiri.


Otoriter: Orangtua keras dan tidak membuka ruang diskusi. Anak jadi patuh, namun cenderung cemas dan kurang percaya diri.


Permisif: Orangtua sangat menyayangi tapi tanpa kontrol. Anak cenderung tidak disiplin dan sulit mengendalikan diri.


Pengabaian (Neglectful): Orangtua tidak peduli secara emosional maupun pengawasan. Anak rentan mengalami masalah emosional dan sosial.




Teori Psikologi Menjelaskan Akar Masalah

Beberapa teori psikologi turut memperjelas mengapa pola asuh berperan besar terhadap kesehatan mental anak:



Attachment Theory (Bowlby & Ainsworth): Hubungan emosional awal sangat menentukan kestabilan mental anak.


Social Cognitive Theory (Bandura): Anak belajar dari meniru perilaku orangtuanya.


Ecological Systems Theory (Bronfenbrenner): Perkembangan anak dipengaruhi oleh berbagai sistem lingkungan yang saling terkait.




Gadget: Tantangan Pola Asuh Modern

Di era digital, banyak keluarga mengalami tantangan baru: distraksi dari gadget. Komunikasi tatap muka digantikan dengan layar, yang membuat interaksi keluarga kehilangan kualitas emosional.

Orangtua seringkali membiarkan anak terpapar gadget tanpa batas. Akibatnya, anak rentan mengalami kecanduan, kesulitan mengendalikan emosi, dan penurunan kemampuan sosial.


Pengasuhan Tidak Layak dan Dampaknya

Menurut Kementerian PPPA (2025), sebanyak 3,6% anak balita mengalami pengasuhan tidak layak. Minimnya pemenuhan kebutuhan dasar, baik fisik, emosional, maupun pendidikan, menjadi persoalan utama, dengan kemiskinan dan disharmoni rumah tangga sebagai faktor dominan.


Trauma Orangtua Menurun ke Anak

Salah satu masalah yang sering luput adalah trauma masa lalu orangtua yang berdampak pada pola pengasuhan anak. Orangtua yang pernah mengalami kekerasan atau pengabaian bisa menjadi overprotektif, terlalu mengontrol, atau malah mengabaikan anak.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2023) mencatat 2.971 kasus anak korban pengasuhan bermasalah, termasuk kekerasan verbal dan emosional.


Mimpi Generasi Emas Bisa Gagal Terwujud

Jika pola asuh buruk ini dibiarkan, masa depan generasi Indonesia akan suram. Anak-anak bisa tumbuh tanpa kepercayaan diri, cemas, tak mampu membangun hubungan sosial, hingga gagal memecahkan masalah dasar kehidupan.

Bonus demografi yang digadang-gadang bisa menjadi kekuatan ekonomi malah bisa menjadi bumerang jika anak-anak yang tumbuh tidak dibekali pola asuh sehat.


Solusi: Gotong Royong Mengedukasi Pola Asuh

Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja. Perlu peran aktif masyarakat:



Memperluas pelatihan parenting hingga ke desa-desa.


Menyediakan akses layanan psikologi anak.


Meningkatkan kepedulian sosial terhadap anak-anak korban salah asuh.



Kita perlu hadir, setidaknya menjadi pendengar dan pengantar anak-anak ke layanan profesional jika terlihat gejala serius.


Penutup: Mari Ciptakan Generasi Tangguh

Pola asuh bukan hanya tentang memberi makan dan tempat tinggal, tetapi tentang membangun pondasi mental dan emosional anak. Saat ini, tantangannya besar, tetapi bukan tidak bisa diatasi. Kita bisa mulai dari hal kecil: mendengarkan, hadir, dan peduli.

Generasi tangguh masa depan dibentuk oleh pola asuh yang penuh cinta, komunikasi yang hangat, dan keterlibatan nyata dari kedua orangtua.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved