Kontroversi 'Sing Beling Sing Nganten': Tradisi atau Ketimpangan Gender?
Tanggal: 2 Mar 2025 08:06 wib.
Masyarakat Indonesia umumnya masih menganggap tabu perilaku seks sebelum menikah, apalagi kehamilan yang tidak diinginkan. Akan tetapi, pandangan ini tidak sepenuhnya universal, terutama di sejumlah daerah tertentu di Indonesia. Salah satu daerah yang menonjol dalam perlakuan yang berbeda terhadap seksualitas adalah Bali.
Anastasia Septya Titisari, Peneliti Muda di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengemukakan bahwa praktik seks di luar nikah ‘dilegalkan’ di Bali. Menurutnya, terdapat sebuah istilah lokal yang cukup terkenal, yaitu “sing beling sing nganten,” yang diartikan sebagai “tidak hamil, tidak menikah.”
Istilah ini bukan hanya sekadar ungkapan, melainkan mencerminkan suatu fenomena sosial yang telah menciptakan keresahan di masyarakat. Banyak kalangan, terutama remaja, yang mengadopsi praktik ini dengan dukungan dari orang tua mereka.
“Fenomena ‘sing beling sing nganten’ ini bukan tanpa dampak. Dalam konteks ini, kehamilan yang tidak diinginkan telah meningkat dengan signifikan. Remaja, yang seharusnya berada dalam fase eksplorasi dan pendidikan, malah terjebak dalam situasi yang membawa risiko tinggi, termasuk masalah kesehatan dan stigma sosial,” ungkap Anastasia dalam tulisannya di The Conversation pada 1 Maret 2025.
Lebih jauh, tradisi ini menggambarkan ketimpangan dalam konstruksi gender di masyarakat. Sebagian masyarakat Bali masih terjebak dalam budaya patriarkis, yang menganggap perempuan sebagai penghasil keturunan utama dalam sebuah keluarga. Dengan pandangan seperti ini, hak seksual dan reproduksi perempuan sering kali diabaikan. Anastasia menegaskan, “Masyarakat menganggap bahwa perempuan harus bisa membuktikan diri melalui kesuburan, yang seharusnya adalah aspek pribadi yang harusnya dihormati.”
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Youth Voices Research, ditemukan bahwa budaya “sing beling sing nganten” seakan menjadi dorongan bagi remaja untuk menjalani hubungan seks pranikah. Hal ini bertujuan untuk menguji kesuburan perempuan sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Dalam situasi di mana seorang perempuan hamil, mereka akan dipaksa untuk menikah. Namun, sebaliknya, jika perempuan tidak hamil, pernikahan tersebut tidak akan dilanjutkan. Praktik ini menunjukkan adanya tekanan sosial yang kuat bagi laki-laki, yang merasa tertekan untuk meneruskan garis keturunan mereka.
Lebih lanjut, Anastasia mengungkapkan bahwa situasi ini sangat merugikan perempuan dalam berbagai aspek. Mereka sering kali diperlakukan sebagai objek uji coba kesuburan, yang mana jika mereka tidak hamil, mereka akan diarahkan untuk menghadapi stigma sosial yang besar. “Kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional perempuan. Mereka tidak hanya mempertaruhkan masa depan, tetapi juga harus berhadapan dengan stigma dari masyarakat,” cetusnya.
Kondisi di Bali juga mencerminkan bagaimana perempuan yang tidak kunjung hamil sering menghadapi stigma sosial yang berat. Dalam banyak kasus, perempuan tersebut memiliki pengalaman yang mengganggu kesehatan mental mereka. Mereka sering kali merasakan tekanan untuk memenuhi harapan masyarakat, yang mengharuskan mereka untuk mampu melahirkan dalam waktu yang relatif cepat setelah menikah. Di sisi lain, perempuan yang hamil di luar nikah sering kali diletakkan dalam posisi subordinat dalam struktur sosial, sehingga memperkuat ketidaksetaraan gender.
Apa yang terjadi di Bali ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memahami dan merespons dinamika sosial di berbagai daerah di Indonesia. Tidak semua wilayah di Tanah Air memiliki pandangan yang sama mengenai seksualitas dan pernikahan. Model pemikiran yang berlaku di Bali mungkin tidak bisa diimplementasikan di tempat lain tanpa mempertimbangkan norma dan nilai sosial yang berlaku masing-masing daerah.
Kondisi ini juga begitupun dengan pengaruh kuat dari orang tua terhadap perilaku remaja di Bali. Banyak orang tua yang menganggap hubungan seks pranikah sebagai bagian dari proses kedewasaan. Mereka diterbangkan pada kecenderungan untuk mendukung keputusan anak-anak mereka, tanpa menyadari dampak jangka panjang yang bisa ditimbulkan oleh perilaku itu.
Kemungkinan besar, rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pendidikan seks juga berkontribusi pada tingginya angka kehamilan tidak diinginkan di daerah tersebut. Pendidikan seks yang minim dan ketidakpahaman orang tua tentang isu-isu ini, menyebabkan generasi muda menghadapi tantangan yang lebih besar dalam memahami hubungan, seksualitas, dan konsekuensi yang mungkin menyertainya.
Seiring dengan berkembangnya masyarakat global, penting bagi komunitas di Bali dan daerah lainnya untuk mulai menggali lebih dalam isu ini, demi menciptakan lingkungan yang sehat dan mendukung bagi generasi mendatang. Kebangkitan kesadaran akan isu-isu gender dan kesehatan reproduksi menjadi kunci dalam menciptakan perubahan positif di masa depan.