Kita Cenderung Meniru Logat Saat Berbicara dengan Orang Baru
Tanggal: 21 Jul 2025 10:53 wib.
Pernahkah merasa mendadak berbicara dengan nada atau aksen yang sedikit berbeda setelah mengobrol dengan seseorang dari daerah lain? Atau, menyadari suara menjadi lebih lembut saat berbicara dengan bayi? Fenomena ini bukan kebetulan atau sebuah hal yang unik. Secara tidak sadar, manusia memang punya kecenderungan untuk meniru logat atau pola bicara orang yang diajak berkomunikasi, terutama saat berhadapan dengan orang baru. Ini bukan sekadar iseng, melainkan sebuah mekanisme kompleks yang berakar pada psikologi sosial dan neurologi.
Mekanisme Speech Accommodation Theory: Upaya Menyesuaikan Diri
Fenomena meniru logat ini bisa dijelaskan lewat teori yang disebut Speech Accommodation Theory. Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang secara otomatis menyesuaikan aspek-aspek bicaranya, seperti kecepatan, volume, pilihan kata, hingga logat atau aksen, agar lebih mirip atau berbeda dari lawan bicara. Ketika seseorang meniru, atau dalam istilah ilmiah disebut convergence, itu adalah upaya untuk menciptakan kedekatan sosial dan membangun rapport. Ibaratnya, itu sinyal bawah sadar yang mengatakan, "Kita mirip," atau "Aku mengerti kamu."
Proses ini terjadi secara alami dan seringkali tanpa disadari. Otak kita terus-menerus memproses input auditori dari lawan bicara dan membandingkannya dengan pola bicara sendiri. Jika ada keinginan untuk membangun koneksi atau diterima, sistem saraf akan memicu respons adaptif dalam produksi suara. Ini bukan cuma tentang meniru logat secara penuh, tapi bisa juga hanya pada tingkat intonasi, ritme, atau bahkan kosakata tertentu. Contoh paling jelas adalah ketika seseorang berbicara dengan nada lebih pelan dan jelas saat bertemu orang asing yang kemampuan berbahasa Indonesianya terbatas, atau seorang pembicara publik yang menyesuaikan gaya bicaranya agar sesuai dengan audiensnya.
Peran Empati dan Kebutuhan Sosial
Kecenderungan meniru logat ini juga erat kaitannya dengan empati dan kebutuhan dasar manusia untuk diterima secara sosial. Kita sebagai makhluk sosial selalu ingin terhubung dengan orang lain. Menyesuaikan pola bicara adalah salah satu cara non-verbal untuk menunjukkan bahwa kita pay attention, bahwa kita bisa memahami, dan bahwa kita adalah bagian dari "kelompok" yang sama.
Ini seperti cermin. Ketika seseorang berbicara dengan logat tertentu, dan kita merespons dengan logat yang mirip, itu bisa menciptakan rasa nyaman dan keakraban. Dalam percakapan pertama, di mana ada upaya untuk saling mengenal, hal ini bisa memperlancar komunikasi dan mengurangi potensi hambatan. Proses convergence ini membantu mengurangi jarak sosial antara dua individu yang baru bertemu. Jika kita berbicara dengan cara yang terlalu berbeda, mungkin lawan bicara merasa ada jarak atau bahkan tidak nyaman. Jadi, adaptasi logat ini adalah strategi sosial yang efektif untuk membuat interaksi terasa lebih halus dan positif.
Efek Otak Cermin dan Belajar Bawah Sadar
Dari sudut pandang neurologis, fenomena ini sebagian dijelaskan oleh adanya neuron cermin di otak. Neuron cermin adalah sel-sel saraf yang aktif tidak hanya saat seseorang melakukan tindakan, tetapi juga saat seseorang mengamati tindakan yang sama dilakukan oleh orang lain. Dalam konteks bicara, neuron ini mungkin berperan dalam memfasilitasi imitasi suara dan pola bicara yang didengar.
Proses meniru logat juga merupakan bentuk pembelajaran bawah sadar. Otak kita adalah mesin pembelajaran yang luar biasa adaptif. Ketika kita terpapar pada pola bicara baru, terutama jika interaksinya intens atau ingin membangun hubungan, otak akan secara otomatis mencoba mereplikasi pola tersebut. Ini adalah bagian dari bagaimana kita belajar bahasa sejak bayi, meniru suara orang tua, dan terus berlanjut hingga dewasa ketika kita beradaptasi dengan variasi bahasa di lingkungan sosial. Seiring waktu, jika paparan terhadap logat baru ini terus-menerus, bahkan bisa terjadi pergeseran logat permanen pada individu.
Batasan dan Dampak Negatifnya
Meskipun seringkali positif, speech accommodation juga punya batasan. Tidak semua orang meniru logat, dan intensitasnya bervariasi. Ada juga fenomena divergence, yaitu ketika seseorang sengaja membuat pola bicaranya berbeda dari lawan bicara. Ini sering terjadi ketika ada keinginan untuk menunjukkan identitas kelompok yang berbeda, menolak afiliasi, atau bahkan menunjukkan superioritas. Misalnya, seseorang mungkin sengaja mempertahankan logat asalnya yang kuat di tengah lingkungan baru untuk menunjukkan kebanggaan identitas.
Selain itu, jika imitasi logat dilakukan secara berlebihan atau terasa tidak tulus, itu bisa dianggap sebagai ejekan atau kurangnya keaslian, yang justru bisa merusak rapport. Kecenderungan ini juga bisa menjadi tidak nyaman jika seseorang merasa logatnya "hilang" atau berubah drastis karena terlalu sering berinteraksi dengan logat lain, menimbulkan pertanyaan tentang identitas diri.