Sumber foto: Pinterest

Ketika Popularitas Lebih Penting dari Kebaikan: Apakah Kita Hidup di Zaman 'Harum Tapi Tak Manis'?

Tanggal: 8 Mar 2025 17:20 wib.
Di era digital saat ini, kita sering kali dihadapkan pada fenomena yang semakin mengkhawatirkan: budaya pencitraan. Budaya ini menempatkan kepopuleran di atas nilai-nilai kebaikan dan ketulusan hati. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan penampilan, baik di dunia nyata maupun di ranah media sosial, banyak orang yang lebih memilih untuk terlihat baik daripada menjadi baik. Fenomena ini kerap disebut sebagai kepopuleran semu.

Berkembangnya media sosial telah menciptakan lingkungan yang merangsang kebutuhan individu untuk tampil sempurna. Setiap momen dalam hidup sepertinya harus dikurasi dan disajikan sedemikian rupa agar mendapat pengakuan dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang berlomba-lomba untuk meningkatkan jumlah 'likes' dan 'followers', sering kali mengorbankan nilai-nilai personal yang lebih mendalam. Dengan demikian, perhatian kita lebih tertuju pada branding diri ketimbang pada esensi dari setiap tindakan kita.

Dalam konteks ini, budaya pencitraan memproduksi individu-individu yang lebih peduli tentang citra mereka daripada tentang kebaikan hati. Mereka mungkin terlihat hangat dan baik dalam pandangan publik, tetapi di balik layar, mereka sering kali tidak menunjukkan ketulusan hati. Dalam banyak kasus, tindakan mereka lebih bersifat strategis untuk memperoleh popularitas daripada berlandaskan pada niatan untuk membantu dan berbuat baik.

Misalnya, banyak tokoh publik yang melakukan kebaikan dengan disertai fanfare besar-besaran. Tindakan amal mereka sering kali menjadi konten yang dikonsumsi massal, bukan semata-mata karena niat baik. Mereka lebih memilih untuk membangun citra sebagai dermawan ketimbang mengedepankan nilai altruistik dari tindakan tersebut. Kegiatan amal yang seharusnya menjadi momen untuk berbagi dan peduli kepada sesama, berubah menjadi alat untuk memperkuat kepopuleran semu. Ini menggambarkan bagaimana jiwa sosial dapat dikompromikan demi mendapatkan pengakuan.

Budaya pencitraan juga menjadikan kita skeptis terhadap kebaikan yang sesungguhnya. Ketika kita melihat orang-orang melakukan aksi kebaikan, sering kali kita mempertanyakan niat asli mereka. Apakah mereka benar-benar ingin membantu? Ataukah mereka hanya ingin memamerkan kebaikan mereka untuk mendapatkan pujian? Ini menciptakan semacam disonansi sosial, di mana kita terperangkap dalam keraguan yang menghalangi kita untuk menerima ketulusan hati orang lain.

Lebih lanjut, fenomena ini juga melahirkan standar ganda, di mana individu yang tidak mampu mempertahankan citra sosial yang diharapkan dapat terasing. Mereka yang berusaha untuk tulus dan berbuat baik tanpa perhatian publik sering kali diabaikan atau dianggap "tidak menarik". Dalam dunia di mana kepopuleran semu mendominasi, kita satu langkah lebih jauh dari potensi kebaikan yang dimiliki setiap individu. 

Situasi ini memunculkan pertanyaan mendalam: Apakah kita akan terus hidup di zaman "harum tapi tak manis", di mana kepopuleran lebih berharga daripada ketulusan hati? Ketika kita merenungkan realita ini, tampak jelas bahwa pentingnya kebaikan sejati tidak boleh tergerus oleh kebisingan budaya pencitraan. Mencari cara untuk menyeimbangkan antara citra yang kita tunjukkan kepada dunia dan hati yang tulus adalah tantangan yang bakal terus kita hadapi di masa mendatang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved