Sumber foto: Pinterest

Kenapa Orang yang Paling Banyak Bicara Justru Sering Kurang Didengar?

Tanggal: 14 Mar 2025 22:03 wib.
Dalam konteks komunikasi sosial, banyak orang beranggapan bahwa semakin banyak seseorang berbicara, semakin besar peluang mereka untuk didengar. Namun, realitasnya sering kali berbicara sebaliknya. Banyak individu yang paling banyak bicara justru tidak mendapatkan perhatian yang mereka harapkan. Ini menjadi fenomena menarik dalam psikologi bicara yang layak untuk dikaji lebih dalam.

Salah satu faktor utama yang memengaruhi efektivitas komunikasi adalah cara penyampaian informasi. Banyak orang berbicara dengan penuh semangat dan antusiasme, tetapi jika cara mereka menyampaikan tidak sesuai dengan konteks atau audiens, apa yang disampaikan sering kali tidak akan diingat. Misalnya, jika seseorang menggunakan jargon atau terminologi yang sulit dipahami, pendengar cenderung kehilangan perhatian dan kurang berpartisipasi dalam diskusi.

Dalam komunikasi sosial, ada yang disebut sebagai "noise" atau gangguan dalam proses komunikasi. Noise ini bisa bersumber dari dalam diri pembicara sendiri, seperti kegugupan atau kurangnya kepercayaan diri. Ketika pembicara merasa tidak nyaman, pesan yang mereka sampaikan pun bisa menjadi tidak jelas, membuat pendengar merasa tidak tertarik atau bingung. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi tidak hanya bergantung pada banyaknya kata-kata yang diucapkan, tetapi juga pada kejelasan dan ketepatan penyampaian.

Psikologi bicara juga menunjukkan bahwa pembicara yang terlalu dominan dalam suatu percakapan dapat membuat orang lain merasa terpinggirkan. Ketika seseorang berbicara terus menerus tanpa memberi ruang untuk pendengar lainnya berkontribusi, timbul rasa jenuh. Pendengar pun merasa diabaikan dan kurang diikutsertakan dalam dialog. Ini tercermin dalam lemahnya hubungan interpersonal yang dibangun. Dalam situasi seperti ini, meskipun pembicara mengeluarkan banyak informasi, pesan tersebut tidak diterima secara efektif oleh pendengar.

Selain itu, sikap dan perilaku pembicara juga memengaruhi efektivitas komunikasi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ekspresi non-verbal seperti bahasa tubuh, kontak mata, dan intonasi suara dapat memiliki dampak signifikan pada cara pendengar mempersepsi pesan. Pembicara yang kurang memperhatikan aspek-aspek ini sering kali mengalami penurunan dalam kemampuan mereka untuk menggaet perhatian audiens. Misalnya, berbicara dengan nada monoton atau tanpa variasi gestur tubuh bisa membuat audiens merasa bosan, sehingga isi pesan yang disampaikan bisa saja terlewatkan.

Di sisi lain, pendengar juga memiliki peran penting dalam proses komunikasi. Seringkali, pendengar merasa tidak berdaya untuk menyela atau memberikan umpan balik ketika pembicara terlalu mendominasi. Ini menciptakan kesenjangan dalam percakapan yang bisa menghambat mutualisme. Dalam konteks ini, komunikasi sosial tidak hanya melibatkan satu pihak; keberhasilan komunikasi memerlukan partisipasi aktif dari kedua belah pihak.

Mitos bahwa berbicara lebih banyak berarti lebih didengar sering mengecoh masyarakat. Banyaknya kata yang diucapkan tidak selalu menjamin bahwa pesan tersebut sampai. Psikologi bicara menggarisbawahi pentingnya kualitas daripada kuantitas. Ketika kualitas komunikasi ditingkatkan, baik melalui kejelasan maksud maupun keterlibatan pendengar, hubungan sosial yang lebih baik dapat terjalin. 

Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa efektivitas komunikasi tidak selalu diukur dari seberapa banyak seseorang berbicara, tetapi lebih kepada bagaimana keterlibatan mereka dalam menciptakan hubungan yang dinamis dan saling mendengarkan. Dalam dunia komunikasi sosial, menjadi seorang pendengar yang baik tidak kalah pentingnya dibandingkan menjadi pembicara yang aktif.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved