Kenapa Kita Merasa Waktu Berlalu Cepat Saat Bahagia?
Tanggal: 21 Jul 2025 10:55 wib.
Pernahkah merasakan sedang asyik-asyiknya menikmati momen, tiba-tiba jam sudah menunjukkan waktu yang jauh lebih larut dari perkiraan? Atau sebaliknya, saat menunggu sesuatu yang membosankan, detik-detik terasa berjalan begitu lambat? Fenomena ini bukan cuma perasaan iseng, melainkan sebuah ilusi waktu yang menarik, terutama saat kita sedang bahagia atau asyik dengan suatu kegiatan. Rasanya waktu seperti lari maraton tanpa izin saat kita bersenang-senang, dan menyeret kaki saat kita bosan. Kenapa otak kita mempersepsikan waktu sefleksibel itu? Jawabannya ternyata ada hubungannya dengan cara kerja perhatian dan emosi dalam diri kita.
Perhatian yang Terfokus: Hilangnya Kesadaran Akan Detik
Salah satu alasan utama mengapa waktu terasa cepat saat bahagia adalah perhatian kita terfokus penuh pada aktivitas yang sedang dijalani. Ketika kita benar-benar menikmati sesuatu—entah itu bermain game, mengobrol seru dengan teman, membaca buku yang menarik, atau tenggelam dalam hobi—otak kita akan memusatkan semua energinya pada pengalaman tersebut. Kita jadi kehilangan kesadaran akan berlalu nya waktu karena pikiran tidak sibuk mencatat setiap detik yang lewat.
Beda halnya saat kita bosan atau dalam situasi yang tidak menyenangkan. Pikiran kita cenderung melayang, mencari-cari hal lain untuk dilakukan, atau malah terlalu aware akan berlalunya waktu itu sendiri. Setiap menit terasa dihitung, setiap detik terasa panjang. Ini menunjukkan bahwa persepsi waktu kita sangat subjektif dan sangat tergantung pada bagaimana kita menyalurkan atau membagi perhatian. Saat kita sibuk dan senang, otak kita lebih memilih untuk mengonsumsi informasi yang datang dari kegiatan itu, bukan dari jam dinding.
Keterlibatan Emosional dan Kurangnya Pemrosesan Memori Detail
Ketika kita merasa bahagia, keterlibatan emosional kita juga sangat tinggi. Otak melepaskan berbagai neurotransmitter seperti dopamin, yang terkait dengan kesenangan dan reward. Sensasi positif ini membuat kita ingin terus berada dalam momen tersebut. Dalam kondisi emosi yang intens dan positif, otak cenderung kurang memperhatikan detail-detail kecil yang membentuk sebuah durasi waktu.
Misalnya, saat kita berada di sebuah konser musik yang sangat dinanti, kita tidak akan sibuk menghitung berapa lagu sudah dimainkan atau berapa menit lagi acara selesai. Pikiran kita lebih fokus pada euforia, melodi, dan interaksi dengan musisi. Karena otak tidak menyimpan banyak "penanda waktu" dalam memori (seperti "oh, sekarang sudah 5 menit berlalu" atau "ini sudah masuk menit ke-10"), ketika kita menyadari, durasi yang sebenarnya sudah berlalu terasa jauh lebih singkat dari yang diperkirakan. Kita lebih banyak memproses pengalaman emosional ketimbang data waktu.
Perubahan dalam Penyimpanan Memori Prospektif
Aspek lain yang memengaruhi adalah bagaimana otak kita menyimpan memori tentang waktu yang akan datang (memori prospektif). Saat kita bahagia dan sibuk, memori kita lebih fokus pada pengalaman itu sendiri, bukan pada bagaimana kita akan mengingat durasinya nanti. Akibatnya, ketika kita melihat ke belakang, rentang waktu yang penuh dengan aktivitas dan emosi positif terasa padat dan singkat.
Sebaliknya, saat kita bosan, setiap detail kecil dan setiap detik terasa sangat penting dan dicatat oleh otak. Ketika kita mengenang momen membosankan itu, durasi waktu akan terasa panjang karena ada banyak "penanda" yang disimpan, bahkan jika itu adalah penanda kebosanan. Jadi, persepsi waktu bukan hanya soal bagaimana kita mengalaminya di masa kini, tapi juga bagaimana kita membentuk memori tentangnya untuk masa depan. Kepadatan peristiwa dan emosi positif membuat memori tentang durasi menjadi lebih "ringkas".
Usia dan Perasaan Waktu
Menariknya, persepsi ini juga bisa berubah seiring bertambahnya usia. Banyak orang dewasa merasa waktu berlalu lebih cepat seiring bertambahnya usia. Ini mungkin karena setiap pengalaman baru menjadi persentase yang lebih kecil dari total hidup yang sudah dijalani. Bagi anak-anak, setiap hari penuh dengan pengalaman baru yang intens dan unik, sehingga waktu terasa panjang. Bagi orang dewasa, rutinitas bisa membuat hari-hari terasa serupa, dan karena sedikit "penanda" baru yang tercipta, waktu terasa melaju lebih cepat. Saat kita bahagia, pengalaman baru dan intensitas emosi itu kembali seperti masa kanak-kanak, membuat waktu terasa memendek.
Singkatnya, ilusi waktu di mana kebahagiaan membuat waktu terasa cepat adalah hasil dari bagaimana perhatian, emosi, dan proses memori kita bekerja. Saat kita benar-benar terlibat dan menikmati momen, otak kita tidak sibuk menghitung detik atau menit, melainkan fokus pada pengalaman itu sendiri.