Sumber foto: Canva

Kenapa Industri Fashion Sering Dituding Merusak Lingkungan?

Tanggal: 1 Sep 2025 14:03 wib.
 Industri fashion global, yang nilai pasarnya mencapai triliunan dolar, sering dituding sebagai salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Tuduhan ini tidak muncul tanpa alasan. Mulai dari produksi bahan baku hingga sampah pakaian yang menggunung, jejak kerusakan lingkungan yang ditinggalkan oleh industri ini terbentang dari hulu ke hilir. Memahami mengapa fashion menjadi masalah lingkungan yang serius adalah langkah pertama untuk mendorong perubahan.

Eksploitasi Sumber Daya dan Pencemaran Air

Proses produksi pakaian dimulai dari bahan baku, dan di sinilah masalah besar dimulai. Produksi kapas, salah satu bahan paling umum, sangat haus air. Untuk menghasilkan satu kaus katun saja, dibutuhkan ribuan liter air. Angka ini setara dengan konsumsi air minum seseorang selama hampir tiga tahun. Selain itu, budidaya kapas sering menggunakan pestisida dan pupuk kimia dalam jumlah besar, yang kemudian mencemari tanah dan sumber air di sekitarnya.

Tidak hanya kapas, produksi serat sintetis seperti poliester juga memiliki masalahnya sendiri. Poliester terbuat dari minyak bumi, sumber daya tak terbarukan yang penambangannya merusak lingkungan. Proses produksinya juga melepaskan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim.

Namun, polusi terbesar dari industri fashion seringkali berasal dari pencemaran air. Proses pencelupan dan pewarnaan tekstil menggunakan bahan kimia beracun dalam jumlah besar. Seringkali, limbah cair dari pabrik-pabrik ini dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan yang memadai. Limbah ini mengandung zat-zat berbahaya seperti merkuri, timbal, dan arsenik yang bisa membunuh kehidupan air dan mencemari sumber air minum bagi masyarakat di sekitarnya.

 Fast Fashion dan Sampah Tekstil yang Menggunung

Gemerlap industri fashion modern tidak bisa dilepaskan dari model bisnis fast fashion. Model ini memproduksi pakaian dalam jumlah masif dan dengan harga sangat murah, mengikuti tren yang berganti dengan cepat. Tujuannya adalah mendorong konsumen untuk terus membeli pakaian baru dan membuang pakaian lama.

Siklus konsumsi yang tidak berkelanjutan ini menciptakan gunungan sampah tekstil. Diperkirakan setiap tahun, jutaan ton pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah. Pakaian-pakaian ini, terutama yang terbuat dari bahan sintetis, membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai. Saat terurai, bahan-bahan ini melepaskan serat mikroplastik yang mencemari lingkungan. Bahkan saat dicuci, pakaian berbahan poliester atau nilon melepaskan serat mikroplastik yang berakhir di lautan dan mencemari ekosistem laut.

Budaya "pakai-buang" yang didorong oleh fast fashion ini tidak hanya boros sumber daya, tetapi juga menciptakan beban limbah yang luar biasa bagi planet. Pakaian yang dibuang seringkali masih dalam kondisi layak pakai, namun dianggap "usang" karena tren yang sudah lewat.

Emisi Karbon dan Jejak Lingkungan Global

Selain polusi air dan sampah, industri fashion juga punya jejak karbon yang sangat besar. Rantai pasokannya sangat panjang dan global. Produksi bahan baku, pembuatan kain, proses jahit, hingga pengiriman produk ke seluruh dunia, semuanya membutuhkan energi dan melepaskan emisi gas rumah kaca.

Diperkirakan industri ini bertanggung jawab atas sekitar 10% emisi karbon global. Angka ini lebih besar daripada total emisi dari penerbangan internasional dan pelayaran gabungan. Sebagian besar emisi ini berasal dari produksi dan pengangkutan, serta penggunaan energi di pabrik-pabrik yang seringkali masih mengandalkan bahan bakar fosil. Penggunaan listrik untuk mengoperasikan mesin jahit, sistem pendingin, dan lampu di pabrik-pabrik besar juga menambah jejak karbon ini.

Keterlibatan Konsumen dalam Perubahan

Meskipun industri fashion memegang tanggung jawab besar, konsumen juga memiliki peran penting. Dengan kesadaran yang meningkat tentang isu ini, muncul gerakan sustainable fashion atau mode berkelanjutan. Gerakan ini mengajak konsumen untuk lebih bijak dalam berbelanja. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:


Membeli Lebih Sedikit: Fokus pada kualitas daripada kuantitas. Membeli pakaian yang tahan lama dan tidak mudah ketinggalan zaman bisa mengurangi frekuensi belanja.
Memilih Bahan Ramah Lingkungan: Pilihlah pakaian dari bahan organik (seperti katun organik) atau bahan daur ulang.
Memperbaiki dan Daur Ulang: Perbaiki pakaian yang rusak daripada langsung membuangnya. Berikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada orang lain atau donasikan.
Mendukung Merek Berkelanjutan: Cari dan dukung merek lokal atau merek besar yang berkomitmen pada praktik produksi yang etis dan ramah lingkungan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved