Sumber foto: Pinterest

Kamu Pinter Nyelesain Masalah Orang Tapi Kacau Sama Diri Sendiri?

Tanggal: 8 Mei 2025 10:24 wib.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui seseorang yang tampak mahir membantu orang lain menyelesaikan berbagai masalah. Mereka memiliki kemampuan empati yang tinggi, mampu memahami perasaan dan kebutuhan orang lain. Namun, di balik kemampuan luar biasa ini, ada beberapa individu yang justru mengabaikan diri mereka sendiri. Fenomena ini dapat dipahami melalui lensa psikologi sosial, yang menggali bagaimana interaksi kita dengan orang lain mempengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan kita.

Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Individu yang memiliki tingkat empati yang tinggi sering kali menjadi pendengar yang baik dan teman yang dapat diandalkan. Namun, ketika seseorang terjebak dalam pola terus-menerus memberikan dukungan kepada orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, mereka berisiko mengalami apa yang dikenal sebagai self-neglect atau pengabaian diri. Hal ini terjadi ketika individu semakin terfokus pada kehidupan orang lain dan melupakan kebutuhan, keinginan, dan tujuan mereka sendiri.

Self-neglect dapat mengambil berbagai bentuk. Misalnya, seseorang mungkin mengabaikan kesehatan fisik mereka, seperti tidak makan dengan baik atau tidak cukup tidur, karena mereka terlalu sibuk membantu teman atau anggota keluarga yang membutuhkan. Selain itu, masalah emosional juga bisa muncul; mereka bisa merasa tertekan, cemas, atau bahkan hampa meskipun telah melakukan banyak hal untuk orang lain. Dalam konteks ini, menggunakan empati sebagai motivasi utama justru dapat berbalik menimbulkan masalah bagi diri mereka sendiri.

Psikologi sosial menjelaskan fenomena ini dengan meneliti hubungan antara individu dan masyarakat. Ketika kita melihat diri kita melalui lensa kolektif, terkadang kita melupakan pentingnya menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima. Menjadi seseorang yang selalu siap membantu, sering kali diharapkan untuk mengorbankan diri demi kepentingan orang lain, menjadikan diri kita merasa kurang berharga jika tidak dapat memenuhi harapan tersebut. Akibatnya, tekanan sosial untuk terus-menerus ada untuk orang lain dapat menjadi bumerang, mengorbankan kesehatan mental kita sendiri.

Ada pula dampak dari norma sosial yang mendorong kita untuk menjadi “penolong” yang ideal. Pemikiran seperti, “Jika aku tidak membantu, siapa lagi yang akan melakukannya?” dapat memicu rasa tanggung jawab yang berlebihan. Bukan hanya waktu dan energi yang terbuang, tetapi juga dapat muncul rasa gagal atau merasa tidak berguna ketika kita merasa tidak bisa memenuhi tuntutan lingkungan sekitar. Hal ini semakin memperparah kondisi self-neglect yang dialami.

Belum lagi jika ditambah dengan stigma yang sering kali menyertai pembicaraan tentang kesehatan mental dan pengabaian diri. Mereka yang berjuang dengan self-neglect sering kali merasa terasing, seolah-olah tidak ada yang memahami perjuangan mereka. Stigma ini membuat banyak individu enggan untuk mencari bantuan, memperburuk rasa tertekan dan kesepian yang mereka alami. Situasi ini menjelaskan mengapa seseorang yang tampaknya sangat peduli pada orang lain bisa jadi sangat acuh tak acuh terhadap diri mereka sendiri.

Di dunia yang kian kompleks ini, penting untuk menyadari bahwa kita semua berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama seperti yang kita berikan kepada orang lain. Empati memang merupakan suatu anugerah, namun tidak seharusnya menjadi senjata yang digunakan melawan diri kita sendiri. Mencintai dan merawat diri sendiri adalah bagian yang sama pentingnya dalam menjaga keseimbangan dan kesehatan mental. Mengenal batas antara memberikan dukungan dan merawat diri sendiri adalah langkah awal menuju hubungan yang lebih sehat, baik dengan diri kita sendiri maupun orang lain.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved