Jeda Waktu Makan Terlalu Pendek Bisa Picu Lemak Viseral, Ini Penjelasan Dokter Gizi
Tanggal: 26 Agu 2025 19:32 wib.
Kebiasaan ngemil terlalu cepat setelah makan ternyata bisa membawa dampak serius bagi kesehatan. Hal ini disampaikan oleh dr. Erwin Christianto, M.Gizi, Sp.GK, dokter spesialis gizi klinik dari Universitas Indonesia, yang menjelaskan bahwa jeda waktu makan yang terlalu pendek menjadi salah satu penyebab utama penumpukan lemak viseral atau lemak berbahaya yang tersembunyi di sekitar organ tubuh. Menurutnya, banyak orang tidak sadar bahwa pola makan seperti ini bisa memperburuk kondisi metabolisme tubuh. “Sekarang makan, setengah jam kemudian jalan-jalan, ketemu jajanan, lalu makan lagi. Jeda waktu makan dengan jajan yang terlalu dekat inilah yang bisa menyebabkan penumpukan, terutama lemak viseral,” kata Erwin dalam diskusi media mengenai obesitas di Jakarta, Sabtu (23/8).Lemak viseral sendiri berbeda dengan lemak di bawah kulit. Lemak bawah kulit biasanya lunak, bisa dicubit, dan cenderung terlihat jelas dari luar. Sementara itu, lemak viseral lebih keras, tersembunyi, dan menempel di organ bagian dalam, terutama di perut. Jenis lemak ini dianggap jauh lebih berbahaya karena erat kaitannya dengan risiko penyakit metabolik seperti resistensi insulin pada diabetes, gangguan jantung, dan bahkan masalah pada ginjal. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas sentral atau lingkar perut melebihi batas normal secara nasional sudah mencapai 36,8 persen pada penduduk berusia 15 tahun ke atas, sebuah angka yang mencerminkan betapa seriusnya persoalan ini di Indonesia.Pola makan modern dengan berlimpahnya pilihan makanan instan, kemasan, dan tinggi kalori juga memperparah keadaan. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PP PDGKI) menekankan bahwa semakin mudahnya akses pada makanan cepat saji berisiko besar meningkatkan penumpukan lemak di perut. Untuk mencegahnya, para ahli menyarankan agar masyarakat tetap berpegang pada pola makan tiga kali sehari secara teratur, terdiri dari sarapan, makan siang, dan makan malam, dengan porsi seimbang karbohidrat, protein, sayur, dan buah dalam satu piring. Erwin juga meluruskan anggapan yang selama ini keliru di masyarakat tentang konsumsi buah. Menurutnya, buah tidak harus selalu dikonsumsi sebelum makanan utama karena proses pencernaan setiap jenis makanan berbeda-beda, sehingga tidak ada perbedaan signifikan apakah buah dimakan sebelum atau sesudah makan besar.Selain itu, waktu jeda antar makan juga menjadi kunci penting. Erwin menyarankan agar setiap kali selesai makan utama, tubuh diberi waktu istirahat sekitar dua hingga tiga jam sebelum mengonsumsi camilan. Jeda ini membantu sistem pencernaan bekerja lebih optimal. Namun, ia mengingatkan bahwa kualitas camilan sama pentingnya dengan waktunya. Jika sekali ngemil langsung menghabiskan satu bungkus penuh makanan ringan, maka dampaknya tidak jauh berbeda dengan makan besar yang berlebihan.Bukan hanya soal apa yang kita makan dan kapan kita makan, faktor non-makanan seperti stres juga memiliki peran besar dalam memicu obesitas. Stres dapat memengaruhi keseimbangan hormon, mengganggu pola tidur, dan pada akhirnya membuat berat badan lebih sulit dikendalikan. “Kalau stres tidak terkontrol, tidur jadi berantakan. Saat tidur terganggu, hormon juga ikut kacau, dan akhirnya obesitas makin sulit dihindari,” jelas Erwin.Dari semua penjelasan ini, dapat dipahami bahwa mencegah obesitas sentral tidak hanya soal menghitung kalori atau menghindari makanan tertentu. Jauh lebih penting adalah memahami ritme makan yang sehat, menjaga jarak antarwaktu makan, memilih jenis camilan yang tepat, serta mengelola stres agar tubuh tetap seimbang. Dengan pola hidup yang lebih disiplin dan kesadaran yang lebih baik, risiko penumpukan lemak viseral berbahaya di perut bisa ditekan, sekaligus menjaga kesehatan jangka panjang.