Jangan Sampai Menyesal: 5 Akibat Fatal dari Mendaki Gunung Karena FOMO
Tanggal: 25 Agu 2025 22:25 wib.
Di era media sosial, mendaki gunung telah menjadi simbol petualangan dan gaya hidup sehat. Namun, di balik popularitas itu, ada sebuah fenomena yang berbahaya: mendaki gunung karena FOMO (Fear of Missing Out). Alih-alih didorong oleh kecintaan pada alam atau tantangan diri, motivasi utama adalah untuk mendapatkan foto-foto keren yang bisa diunggah ke media sosial. Tindakan ini, yang terlihat sepele, dapat membawa sejumlah konsekuensi serius bagi diri sendiri maupun lingkungan.
1. Risiko Keselamatan yang Tinggi
Akibat paling fatal dari mendaki karena FOMO adalah tingginya risiko keselamatan. Dorongan untuk mencapai puncak dengan cepat, tanpa mempertimbangkan kondisi fisik dan mental, seringkali membuat pendaki mengabaikan persiapan yang krusial. Mereka mungkin tidak membawa perlengkapan yang memadai, seperti pakaian hangat, obat-obatan, atau persediaan air yang cukup. Selain itu, fokus pada pengambilan gambar atau kecepatan membuat mereka kurang waspada terhadap medan yang sulit, cuaca yang tidak terduga, atau jalur yang berbahaya.
2. Kelelahan Ekstrem dan Burnout
Mendaki gunung adalah aktivitas fisik yang sangat menuntut. Jika seseorang mendaki tanpa latihan yang cukup, hanya untuk mengikuti tren, tubuhnya akan mengalami kelelahan ekstrem. Kaki kram, pusing, hingga gejala hypothermia bisa menjadi ancaman nyata. Dampaknya tidak hanya fisik; kelelahan mental yang disebabkan oleh tekanan untuk "tampil" bisa menyebabkan burnout yang membuat mereka kapok dan membenci aktivitas mendaki di masa depan.
3. Perilaku Merusak Lingkungan
Pendaki FOMO seringkali tidak memiliki kesadaran ekologi yang mendalam karena tujuan mereka bukanlah menikmati alam, melainkan mendapatkan konten. Akibatnya, mereka cenderung mengabaikan etika pendakian. Masalah umum yang sering terjadi adalah membuang sampah sembarangan, meninggalkan jejak, atau bahkan merusak flora yang dilindungi seperti bunga edelweiss hanya untuk berfoto. Hal ini meninggalkan jejak kerusakan yang butuh waktu lama untuk pulih.
4. Kekecewaan Setelah Pendakian
Ekspektasi yang terbentuk dari foto-foto di media sosial seringkali sangat berbeda dengan realitas. Realitas mendaki gunung adalah keringat, lumpur, cuaca buruk, dan rasa tidak nyaman. Jika tujuannya hanya untuk foto, pendaki FOMO bisa merasa kecewa saat pemandangan di puncak tertutup kabut atau cuaca tidak memungkinkan untuk mengambil foto yang sempurna. Perjuangan yang telah dilakukan terasa sia-sia karena target utama mereka tidak tercapai.
5. Hilangnya Esensi Sejati Mendaki
Pada akhirnya, mendaki karena FOMO menghilangkan esensi sejati dari kegiatan ini. Mendaki seharusnya menjadi ajang untuk introspeksi, menemukan ketenangan batin, dan merasakan koneksi dengan alam. Namun, ketika pengalaman itu didorong oleh validasi dari orang lain, ia berubah menjadi sebuah pertunjukan. Kegembiraan yang dirasakan tidak datang dari hati, melainkan dari jumlah likes dan komentar di layar. Hal ini merampas kesempatan untuk menemukan kedamaian, ketahanan, dan penemuan diri yang sebenarnya ditawarkan oleh alam.
Puncak gunung akan selalu ada, dan waktu terbaik untuk mendakinya adalah ketika kamu benar-benar siap, baik secara fisik maupun mental. Lakukanlah untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain.