Jangan Minder Jadi Blogger
Tanggal: 24 Jul 2017 10:59 wib.
Banyak yang bilang “Siapa Lo, Lo kan Cuma bisa nulis doang. Di blog pulak”. Bagi yang baru menekuni aktivitas tulis-menulis artikel, khususnya yang berbau politik, pastinya kata-kata itu langsung membuat semangatnya mengendur. Tapi, bagi yang sudah “karatan”, kata-kata yang merendahkan itu tidak pernah dianggap. “Kentut saja lebih bau dari kata-kata itu.”
Gegara comohan merendahkan itu tidak sedikit penulis yang jadi minder, merasa dirinya tidak pantas menyampaikan pendapatnya. Kemudian menutup rapat-rapat dunia tulis-menulis.
Kok bisa ada warganet, netizen, blogger yang berpikir dirinya tidak pantas menulis, tidak pantas menyampaikan pendapat, dan tidak layak ini dan itu lainnya? Singkatnya, banyak penulis artikel yang merasa dirinya bukan siapa-siapa.
Padahal, dunia internet menjadikan “siapa-siapa menjadi bukan siapa-siapa”. Sebaliknya, dunia internet pun menjadikan “bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa”.
Seseorang yang bukan siapa-siapa, karena tidak mengantongi sederetan gelar akademis, belum pernah masuk tivi dengan predikat sebagai pengamat, juga tidak pernah wara-wiri di infotainment, bisa jadi sebenarnya kita ini adalah “siapa-siapa”.
Ada sederetan nama beken yang juga dikenal sebagai blogger. Sebut saja, dari Wapres Jusuf Kala, Mantan KSAU Chappy Hakim, Mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie, Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 Anis Baswedan.
Ada juga artis lawas Marissa Haque, budayawan Arswendo Atmowiloto dengan akun samarannya, purnawirawan TNI AU sekaligus mantan staf khusus bidan intelijen di Era SBY, Marsda Prayitno Ramelan Ada pakar hukum tata negara yang juga penulis pidato Presiden H.M. Soeharto, Profesor Yusril Ihza Mahendra. Dan masih banyak lagi orang tenar lainnya.
Tapi, di dunia blogging, nama-nama beken itu bukanlah siapa-siapa. Blogger yang bukan “siapa-siapa” bisa mendebat tulisan yang ditayangkan oleh para pakar dalam bidangnya. Malah anggota yang bukan siapa-siapa ini, kadang lebih “nyaring” tulisannya ketimbang anggota yang “siapa-siapa”.
Di alam blogging, masyarakat yang di dunia nyata dianggap bukan “siapa-siapa” atau yang biasa disebut dengan silent majority bisa menyuarakan pemikirannya.
Mungkin sudah menjadi budaya di belahan bumi manapun bila silent majority selalu dianggap warga kelas dua yang tidak tahu apa-apa tetapi berisik. Stempel tidak tahu apa-apa, sok tahu, culun, naif, pengganggu, dan lain sebagainya, mau tidak mau membuat netizen menjadi minder untuk menuliskan gagasannya.
Gegara stempel itu, banyak netizen yang tidak berani menyuarakan gagasan, pikirannya, atau opininya dalam bentuk tulisan. Mereka takut dikatai “sok pinter”, “keminter”, atau bahkan tidak tahu diri.
Tetapi, faktanya tidak demikian. Saya yang termasuk dalam kelompok “yang bukan siapa-siapa bisa beradu pikiran dengan Yusril. Kurang apa Yusril. Ia bergelar akademik Profesor Doktor Hukum Tata Negara. Yusril pernah menduduki berbagai jabatan di kementerian pada sejumlah kabinet. Yusril juga diketahui sebagai pesaing Abdurahman Wahid dan Megawati saat pemilihan calon presiden 1999-2004 dalam sidang umum MPR RI pada 1999.
Yusril juga kerap hadir dalam berbagai talk show yang ditayangkan berbagai stasiun televisi. Meski demikian, toh berbagai “predikat” yang menempel pada Yusril bukanlah “teror” bagi saya untuk tidak mendebatnya. Di alam maya, kedudukan Yusril dengan ratusan ribu silent majority lainnya sejajar.
Sekarang ini, banyak politisi, pengamat, pakar, dan lainnya yang meributkan soal pemberlakukan presidential threshold (PT) pada pemilu serentak 2019 nanti. Kalau isu ini manjadi kontroversial ini baru diributkan pada saat ini, tidak demikian dengan di Kompasiana. Di Kompasiana, tulisan tentang PT sudah ditayangkan sejak lebih dari 2,5 tahun yang lalu.
Lewat artikel “Dampak Presidential Threshold yang Tidak Terpikirkan DPR dan Para Pakar” http://www.kompasiana.com/gatotswandito/dampak-presidential-threshold-yang-tidak-terpikirkan-dpr-dan-para-pakar_552844356ea8347f2a8b45bc
yang ditayangkan pada 1 Agustus 2013, saya sudah menuliskan kalau PT harus 0 %. Dalam artikel tersebut saya menuliskan, “Oleh karena itu sebaiknya untuk pemilu presiden ke depan, PT ditetapkan 0% (nol persen)”Dan, kalau sekarang PT hangat diperdebatan, maka isu itu sudah lama didengungkan di Kompasiana ini.
Yang menarik saat Yusril mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait Yusril Izha Mahendra kembali mengajukan permohonan uji materi. Kali ini menguji materi Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU No 42/ 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut pakar hukum tata negara ini, kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD yang berbunyi "Pasangan Capres dan Cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu". Jika permohonan Yusril dikabulkan, maka mau tidak mau Pemilu 2014 harus dilaksanakan secara serentak atau Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden digelar di hari yang sama.
Banyak yang menduga, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kalau MK akan mengabulkan uji materi. Bagaimana pun Yusril memegang prestasi cemerlang dalam soal uji materi.
"Saya dengar, mudah-mudahan tidak benar dan tidak terjadi, konon katanya, Perppu tentang MK ini dikaitkan dengan apa yang ditangani MK. Yaitu persoalan UU Pemilihan Presiden, apakah berlaku sekarang ini ada perubahan, threshold, calon presiden. Saya dengar bisik-bisik politik itu bisa dikaitkan. Saya tidak percaya," ungkap SBY di Taman Mini Indonesia Indah, Jaktim pada 18 Desember 2013 (http://news.liputan6.com/read/778263/sby-bisik-politik-perppu-mk-terkait-pilpres-saya-tidak-percaya).
Entah bagaimana cara SBY mengaitkan antara Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan UU Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diuji materi di MK. Tapi, itulah informasi yang diterima oleh SBY ketika itu. Wajar saja kalau SBY jadi galau mendengar bisik-bisik tersebut. Kegalauan SBY itu ditulis dalam artikel “Dengar Gosip, Pak Presiden Galau”.
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/dengar-gosip-pak-presiden-galau_552911686ea834ff218b46d9
Tentang pengajuan uji materi Yusril ini sudah ditulis dalam artikel “Plus-minus Bila MK Kabulkan Permohonan Yusril Terkait Pencapresan”
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/plus-minus-bila-mk-kabulkan-pemohonan-yusril-terkait-pencapresan_5528d037f17e61110d8b456f
yang ditayangkan pada 15 Desember 2013. Sepertinya, Yusril optimis permohonannya judicial review-nya ini bakal dikabulkan MK. Sepertinya Yusril lupa bila dalam keputusannya MK tidak hanya menimbang sisi “teks hukum” saja. Ada faktor lain yang dijadikan MK sebagai acuan untuk mengambil keputusan. Bagi MK yang terpinting adalah apakah keputusannya itu menguntungkan atau merugikan masyarakat.
Kemudian pada 23 Januari 2014 atau pada hari yang sama di mana MK akan ketuk palu soal permohonan judicial review yang diajukan Effendi Ghazali saya menayangkan “Hindari Chaos, MK Harus Tolak Permohonan "Pemilu Serentak".
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/hindari-chaos-mk-harus-tolak-permohonan-pemilu-serentak_5528d1806ea8347e658b45b3
Isinya, “...Pergeseran kekuatan politik secara normal (pemilu sesuai rencana) saja berpotensi menimbulkan goncangan, apalagi bila pergeseran tersebut mengalami “hentakan”. Bila “hentakan” tersebut tidak bisa dikelola secara bijak oleh aparat keamaan, mulai dari polisi, TNI, dan intelijen pasti akan terjadi instabilitas keamanan. Instabilitas keamanan ini pastinya akan berdampak terhadap kehidupan rakyat secara umum.” Dari argumen tersebut, saya menyakini kalau MK akan menolak gugatan yang dimohonkan oleh Yusril.
Dan, ternyata jalan pikiran saya benar. MK mengabulkan uji materi yang dikabulkan oleh Effendi Ghazali, tetapi menolak permohonan yang diajukan oleh Yusril. Pemilu serentak pun akhirnya baru dapat dilaksanakan pada 2019. Dengan demikian, pikiran saya yang dituangkan dalam artikel di Kompasiana ini lebih tepat ketimbang pikiran pakar hukum tata negara dan juga bisikan yang diterima oleh Presiden SBY.
Tapi, sebagai silent majority, jelas tulisan saya tersebut tidak bakal dirujuk oleh para pembesar negeri ini. Ini mirip dengan artikel “Berbahasa Inggris Di Istana Jokowi Melanggar Sumpah”
http://www.kompasiana.com/gatotswandito/berbahasa-inggris-di-istana-jokowi-melanggar-sumpah_54f41558745513a42b6c85d6
yang saya tayangkan hanya beberapa jam setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden RI Ke-7. Saya berpikir, Jokowi telah melanggar UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Sekalipun sudah diingatkan lewat tulisan di Kompasiana, toh Jokowi tetap saja cas-cis-sus.
Sampai kemudian Ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Presiden Joko Widodo sudah melanggar sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia jika berpidato menggunakan bahasa Inggris di salah satu sesi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pacific Economic Cooperation di Beijing. Pernyataan Hikmahanto itu diberitakan sejumlah media, salah satunya Tempo.co yang menulis “Pidato Berbahasa Inggris, Jokowi Bisa Langgar Sumpah”.
https://m.tempo.co/read/news/2014/11/10/078620983/pidato-berbahasa-inggris-jokowi-bisa-langgar-sumpah
Apa bedanya pikiran saya dengan Hikmahanto? Bisa dibilang 98 % sama. Sekalipun kedua pikiran tersebut hampir sama, toh Jokowi lebih mendengarkan Hikmahanto yang berpredikat sebagai pakar hukum internasional dari perguruan tinggi terkenal ketimbang saya yang silent majority dan bukan siapa-siapa ini. Tapi, cuekin saja.
Tapi, bukan berarti suara silent majority tidak mampu menggugah apalagi hanya sekadar mengubah. Contohnya, artikel “Quick Count Ngawur: Di Arab Jokowi Raih 75 %, Prabowo Caplok 20 %” http://www.kompasiana.com/gatotswandito/quick-count-ngawur-di-arab-jokowi-raih-75-prabowo-caplok-20_54f6bdf1a333114c5c8b47ed
yang ditayangkan pada 5 Juli 2014. Sekalipun saat itu saya dibuli oleh banyak pendukung Jokowi. Saya dikatakan sok tahu, naif, sok pinter, keminter, dan lain sebagainya, toh tulisan itu sulit dibantah kebenarannya.
Dan besoknya, sejumlah media online memiliki dua opsi: menghapus berita ngawur yang sudah dipublikasikan atau mengubah judul dan isi beritanya. Jadi, jelas suara silent majority di Kompasiana sudah mampu mempengaruhi sejumlah media nasional.
Sebenarnya, dengan adanya media sosial, blog, silent majority sudah ambil bagian dalam proses demokrasi di negara ini. Bahkan, suara silint majority lebih lantang dari para vocal minority.
Dengan hadirnya internet, The silent majoritywill be no silent more. Lebih dari itu, banyak juga yang mengatakan kalau saat ini the silent majority is dead. Silent majority sudah mati.
Sebelumnya, maaf kalau contoh yang diambil berasal dari artikel yang saya tulis sendiri. Lha, masa iya saya mau bangga-banggakan tulisan orang lain yang sama-sama “bukan siapa-siapa”.
Yang penting jangan takut menulis. Jangan takut salah beropini. Sebab opini boleh salah. Meski begitu, menulis opini tidak bisa mengandalkan “muka badak”.
Ibaratnya, kalau ada prediksi cuaca yang mengatakan sore nanti akan turun hujan, maka kita harus menyiapkan payungi. Kalau pun pada sore itu hujan tidak turun, maka hal itu bukanlah sebuah kesalahan.
Justru menjadi salah kalau pada sore itu kita tidak membawa payung. Jadi, menayangkan artikel opini harus tetap terukur sesuai dengan literasi, pengamatan, atau pengalaman penulisnya. Itulah yang membuat opini yang diunggah di dunia maya menjadi layak dipertimbangkan dan dipantau oleh sejumlah pihak.
Dan, jangan pernah juga merasa dirinya belum layak menuliskan opininya, sebab urusan tulis-menulis saja belum bisa. Pertanyaannya, memangnya yang rajin ngeblog dengan jumlah pembaca sampai jutaan orang itu sudah bisa menulis dengan benar?
Kalau mau menayangkan tulisan atau artikel yang baik dan benar pastinya membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengeditnya. Sementara, terkadang opini harus tayang secepat mungkin selagi isu yang diopiikan sedang hangat-hangatnya.
Malah bisa dibilang, menulis artikel di dunia maya ini bisa eenak udelnya sendiri. Yang penting tulisan yang ditayangkan bisa dibaca. Kalau pun sulit dimengerti orang, ya terserah.
Meski menuliskan di dunia maya boleh seenak udelnya sendiri, jangan lupakan UU ITE dan KUHP. Jangan sampai artikel yang diunggah melanggar hukum. Inilah yang menjadi rambu dunia penulisan.