Jam Kerja Fleksibel Dipuji Sebagai Solusi Modern, Tapi Kenapa Banyak Karyawan Justru Ngerasa Lembur Terus?
Tanggal: 6 Mei 2025 15:01 wib.
Tampang.com | Dulu, 9-to-5 dianggap rutinitas yang melelahkan. Kini, perusahaan banyak menawarkan jam kerja fleksibel sebagai bentuk modernisasi. Tapi ironisnya, banyak karyawan justru merasa kerja jadi nggak kenal waktu dan makin gampang burnout.
Jam Fleksibel = Kerja Lebih Bebas? Nggak Selalu
Secara teori, fleksibilitas jam kerja memungkinkan pekerja menyesuaikan ritme produktivitasnya. Tapi dalam praktiknya, banyak profesional muda justru terjebak dalam ekspektasi "selalu tersedia", terutama di perusahaan yang belum punya batas komunikasi yang jelas.
“Sebenarnya fleksibel, tapi kadang malah jadi kerja jam 10 malam karena klien baru balas. Lama-lama lelah juga,” kata Dimas, manajer proyek di startup fintech.
Work-Life Balance: Makin Sulit Dibedakan
Survei LinkedIn Asia Pasifik 2025 menunjukkan bahwa 57% responden merasa kesulitan memisahkan waktu pribadi dan kerja sejak diberlakukan sistem kerja fleksibel. Apalagi dengan WFA (Work From Anywhere), ruang kerja dan ruang istirahat makin menyatu.
Solusi Bukan Hanya Soal Jam, Tapi Batasan yang Jelas
Para pakar HR menyarankan perusahaan membuat kebijakan jam balas pesan, cuti digital, dan edukasi kesehatan mental. Karena fleksibilitas tanpa aturan justru berpotensi membuat loyalitas menurun dan turnover meningkat.
Fleksibel Bukan Berarti Bebas Lembur Terus
Jam kerja fleksibel memang solusi masa kini, tapi perlu dikawal dengan komunikasi terbuka dan sistem kerja yang sehat. Bukan berarti semua jadi longgar, tapi agar kerja tetap produktif tanpa mengorbankan kesejahteraan mental dan fisik.