Inilah Alasan Pernikahan "MBA" Sering Tidak Bertahan Lama
Tanggal: 26 Jul 2025 09:20 wib.
Pernikahan yang didasari oleh kondisi "MBA" atau married by accident – ketika kehamilan terjadi sebelum ikatan pernikahan resmi – seringkali menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dibanding pernikahan yang direncanakan. Meski setiap hubungan punya rintangan, perkawinan yang dipicu oleh kehamilan yang tidak terencana memiliki fondasi yang berbeda. Bukan berarti selalu gagal, namun ada beberapa faktor fundamental yang seringkali menjadi pemicu rapuhnya rumah tangga tersebut.
Kurangnya Kesiapan Mental dan Emosional
Salah satu alasan utama mengapa pernikahan "MBA" sering tidak bertahan adalah kurangnya kesiapan mental dan emosional dari kedua belah pihak. Pernikahan sejatinya adalah komitmen besar yang menuntut kematangan, tanggung jawab, dan kesadaran penuh. Ketika terjadi karena "keterpaksaan" situasi (kehamilan), pasangan mungkin belum siap menghadapi realitas pernikahan yang kompleks, apalagi ditambah dengan tanggung jawab menjadi orang tua.
Kesiapan mental mencakup kemampuan mengelola emosi, menghadapi tekanan, serta mengambil keputusan bersama. Jika salah satu atau kedua pasangan masih belum matang, mereka akan mudah kewalahan menghadapi konflik, masalah finansial, atau perbedaan pendapat. Emosi yang tidak stabil karena tertekan situasi bisa memicu pertengkaran dan rasa saling menyalahkan. Pernikahan yang tidak didasari oleh kesiapan matang sejak awal akan menjadi beban berat, bukan kebahagiaan.
Hilangnya Elemen Pilihan dan Tekanan Lingkungan
Pernikahan idealnya adalah pilihan sadar dan sukarela dari dua individu yang saling mencintai. Namun, dalam kasus "MBA", elemen pilihan bebas seringkali hilang atau berkurang. Keputusan untuk menikah kerap didorong oleh tekanan dari keluarga, norma sosial, atau tuntutan moral untuk "menyelamatkan" nama baik atau masa depan anak. Pasangan mungkin merasa terpojok dan menikah bukan karena cinta dan kesiapan hati yang penuh, melainkan karena keharusan.
Tekanan lingkungan ini bisa sangat berat. Obrolan tetangga, pandangan keluarga, atau bahkan ancaman sanksi sosial bisa memaksa pasangan ke pelaminan. Akibatnya, hubungan yang dibangun terasa seperti kewajiban, bukan keinginan tulus. Ketika fondasinya adalah paksaan atau rasa malu, bukan komitmen tulus, maka rasa tidak puas, penyesalan, atau bahkan kebencian bisa muncul seiring waktu, merusak ikatan pernikahan dari dalam.
Masalah Keuangan yang Lebih Cepat Muncul
Pernikahan membutuhkan stabilitas finansial, apalagi jika langsung dihadapkan pada kehadiran bayi. Pasangan yang menikah karena "MBA" seringkali belum memiliki kemapanan finansial yang memadai. Mereka mungkin masih dalam tahap pendidikan, baru memulai karier, atau belum punya tabungan yang cukup. Beban ekonomi untuk biaya persalinan, kebutuhan bayi, dan hidup berumah tangga bisa menjadi pukulan telak.
Stres finansial adalah salah satu penyebab utama konflik dalam pernikahan. Jika pasangan belum siap secara finansial, masalah uang bisa memicu pertengkaran terus-menerus, saling menyalahkan, dan bahkan rasa putus asa. Kondisi ini diperparah jika salah satu pihak, terutama sang ayah, merasa belum siap memikul tanggung jawab sebesar itu, yang bisa berujung pada hilangnya dukungan atau bahkan kepergian.
Hubungan yang Belum Kokoh dan Minim Pengenalan Diri
Dalam banyak kasus "MBA", hubungan asmara antara kedua belah pihak mungkin masih tergolong baru atau belum kokoh. Mereka mungkin belum mengenal satu sama lain secara mendalam: kebiasaan buruk, kebiasaan baik, cara menghadapi masalah, atau visi masa depan masing-masing. Perkenalan yang seharusnya terjadi selama masa pacaran yang lebih panjang dan tanpa tekanan, kini harus dilakukan sambil menanggung beban berat kehamilan dan pernikahan.
Kurangnya pemahaman mendalam tentang karakter pasangan bisa memicu kejutan dan kekecewaan setelah menikah. Perbedaan prinsip yang tadinya tak terlihat kini menjadi sumber konflik. Hubungan yang belum punya dasar kuat dari saling pengertian dan penerimaan, akan kesulitan menghadapi badai pernikahan yang pasti akan datang, apalagi jika badai itu datang lebih cepat dan lebih besar dari yang diperkirakan.
Perbedaan Prioritas dan Resentimen
Ketika pernikahan terjadi karena "MBA", ada kemungkinan prioritas hidup pasangan belum sejalan. Salah satu pihak mungkin masih ingin mengejar pendidikan, karier, atau kebebasan masa muda, sementara yang lain sudah harus fokus pada tanggung jawab keluarga dan anak. Perbedaan ekspektasi ini bisa menimbulkan resentimen atau rasa tidak adil.
Misalnya, sang ayah mungkin merasa kehilangan masa muda atau terpaksa mengambil pekerjaan yang tidak disukai demi menafkahi keluarga. Ibu mungkin merasa terbebani sendiri dalam mengurus anak dan rumah tangga, sementara sang ayah belum sepenuhnya siap menjadi kepala keluarga. Resentimen yang menumpuk seiring waktu bisa merusak cinta, menciptakan jarak emosional, dan membuat perceraian menjadi pilihan yang terasa lebih mudah.