Harga Sembako Turun Drastis, Tapi Pasar Tetap Sepi: Ada Apa dengan Daya Beli Masyarakat?
Tanggal: 4 Mei 2025 08:53 wib.
Pasar tradisional kerap menjadi indikator nyata kehidupan ekonomi masyarakat, namun kondisi terkini di Pasar Kranji Baru, Bekasi, menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Meski sejumlah harga kebutuhan pokok turun drastis usai Lebaran, suasana pasar tetap lengang. Para pedagang mengeluhkan minimnya pembeli, menandakan konsumsi rumah tangga yang belum juga pulih.
Tino, seorang pedagang telur yang sudah puluhan tahun berjualan di Pasar Kranji, menyampaikan kekhawatirannya. “Harusnya setelah Lebaran makin ramai, tapi sekarang malah makin sepi. Padahal harga-harga sudah turun,” ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Fenomena ini memang terasa aneh, terutama karena penurunan harga tidak terjadi secara kecil-kecilan, tetapi cukup signifikan. Komoditas seperti bawang merah, cabai rawit merah, dan tomat menunjukkan penurunan harga yang mencolok. Harga bawang merah misalnya, yang sempat menyentuh angka Rp70 ribu per kilogram, kini dijual seharga Rp40-50 ribu. Cabai rawit merah, yang biasa dijuluki ‘cabe setan’, bahkan turun tajam dari Rp150 ribu menjadi Rp50 ribu per kilogram. Tomat pun kini stabil di kisaran Rp16-18 ribu per kilogram.
Namun ironi terjadi. Alih-alih mendongkrak daya beli, penurunan harga justru tidak berhasil menarik minat masyarakat untuk belanja lebih banyak. Pedagang merasa aktivitas pasar seperti mati suri. “Biasanya habis Lebaran, orang beli stok buat seminggu. Sekarang satu dua aja yang beli,” ujar seorang penjual sayur.
Sementara itu, sejumlah kebutuhan pokok lain seperti telur justru mengalami kenaikan harga. Telur ayam ras, misalnya, naik dari Rp25 ribu menjadi Rp28 ribu per kilogram. Telur omega bahkan sudah menembus Rp34 ribu dari sebelumnya hanya Rp30 ribu. “Baru dua hari lalu beli Rp30 ribu, sekarang Rp34 ribu. Tapi tetap dibeli karena itu kebutuhan,” keluh seorang konsumen.
Hal serupa terjadi pada beras. Meski kenaikannya tergolong ringan, dari Rp50 ribu menjadi Rp60 ribu per karung kecil, tetap saja menambah beban belanja keluarga. Sementara kelapa parut, yang sejak Oktober melonjak hingga Rp13 ribu per butir, masih belum menunjukkan penurunan.
Untuk protein hewani, harga daging ayam dan sapi relatif stabil. Daging ayam broiler dijual Rp35 ribu per kilogram, ayam fillet Rp45 ribu, dan daging sapi di angka Rp130 ribu per kilogram. Namun pedagang ayam menyebut ukuran ayam yang dijual kini lebih besar dibanding sebelumnya, sebagai bentuk penyesuaian agar pembeli merasa lebih untung.
Di sisi lain, masih ada konsumen seperti Ibu Rosmah yang melihat sisi positif dari penurunan harga. Ia memilih membeli kebutuhan dalam jumlah banyak untuk disimpan beberapa hari ke depan. “Mumpung murah, ya saya stok sekalian. Tapi enggak semua orang bisa seperti itu,” ujarnya.
Meskipun beberapa harga bahan pokok turun, kenyataannya daya beli masyarakat belum kembali seperti dulu. Banyak yang memilih menahan pengeluaran usai Lebaran demi menjaga keuangan tetap stabil. “Mungkin orang masih ngatur uangnya. Belum gajian juga kan,” tambah Bu Haryati, pelanggan setia pasar.
Di tempat lain seperti Pasar Pondok Gede, kondisi serupa juga terlihat. Harga cabai rawit merah di sana kini berkisar antara Rp40.000 hingga Rp50.000 per kilogram, turun dari sebelumnya Rp100.000 saat Idul Fitri. Cabai rawit hijau juga mengalami penurunan, dari Rp50.000 menjadi Rp35.000-40.000 per kilogram. Cabai keriting turun dari Rp70.000 menjadi Rp50.000-an per kilogram. Bawang merah pun turun dari Rp80.000 ke kisaran Rp45.000-50.000 per kilogram. Sedangkan bawang putih cenderung stabil di Rp50.000 per kilogram.
Harga tomat di Pasar Pondok Gede juga terkoreksi menjadi Rp18.000 dari sebelumnya Rp20.000. Untuk beras, harganya masih stabil di kisaran Rp16.000 per kilogram. Kebutuhan protein seperti daging ayam, sapi, dan telur ayam negeri pun tetap berada di angka yang sama seperti beberapa hari sebelumnya.
Kondisi ini memperlihatkan adanya pergeseran dalam pola konsumsi masyarakat. Turunnya harga tidak serta-merta diikuti lonjakan pembelian, menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada harga, tapi pada daya beli yang tertekan. Entah karena efek Lebaran, tekanan ekonomi, atau gaji yang belum cair, faktanya roda ekonomi di pasar rakyat belum kembali berputar kencang.
Para pedagang berharap bahwa menjelang Idul Adha, aktivitas belanja bisa kembali meningkat. “Biasanya kalau Idul Adha mulai ramai lagi. Mudah-mudahan tahun ini juga begitu,” kata seorang pedagang di Pasar Kranji.
Fenomena pasar sepi meski harga turun merupakan sinyal penting bagi pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen itu sendiri. Bukan sekadar soal harga murah, tapi bagaimana ekonomi rakyat kecil bisa kembali berdenyut normal. Pasar tradisional seperti Kranji dan Pondok Gede bukan hanya tempat transaksi, tapi juga barometer kondisi ekonomi masyarakat menengah bawah.
Jika aktivitas pasar terus menurun, bukan tidak mungkin efek domino akan dirasakan lebih luas, dari pendapatan pedagang, penghasilan petani dan distributor, hingga keberlangsungan UMKM lokal.