Generasi Z di Tempat Kerja: Tantangan atau Peluang Emas bagi Perusahaan Masa Kini?
Tanggal: 17 Mei 2025 14:19 wib.
Generasi Z kini menjadi kekuatan utama dalam dunia kerja global, membawa perubahan signifikan sekaligus tantangan baru bagi perusahaan-perusahaan modern. Studi terbaru dari perusahaan asal Amerika Serikat, Intelligent, mengungkapkan fakta mengejutkan: sekitar 75% perusahaan di AS merasa kurang puas dengan performa karyawan Generasi Z yang baru mereka rekrut, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012.
Lebih jauh lagi, enam dari sepuluh perusahaan tersebut bahkan mengaku pernah memutuskan hubungan kerja dengan sejumlah karyawan muda dari generasi ini. Alasan utama yang disebutkan beragam, mulai dari keinginan mereka untuk pulang lebih awal, sering datang terlambat, tuntutan gaji yang dianggap terlalu tinggi, hingga kurangnya kemampuan komunikasi yang memadai.
Meski begitu, narasi tersebut ternyata tidak sepenuhnya menggambarkan realitas sebenarnya. Milly Rose Bannister, pendiri lembaga kesehatan mental ALLKND yang juga bagian dari Generasi Z, menilai bahwa banyak anak muda justru memilih meninggalkan pekerjaan yang dianggap terlalu kaku, kuno, dan tidak memberikan ruang fleksibilitas. Menurutnya, ini adalah tanda perubahan besar dalam cara Generasi Z memandang dunia kerja.
“Saya sendiri baru berusia 28 tahun, sebagai bagian dari Generasi Z yang lebih dewasa, saya bisa melihat bagaimana dunia kerja terus berubah di depan mata,” kata Bannister, seperti dikutip dari The Sydney Morning Herald pada tanggal 16 Mei 2025.
Bannister menambahkan bahwa bagi banyak anak muda saat ini, definisi sukses dalam karier bukan lagi tentang bekerja keras hingga kelelahan. Jika suatu pekerjaan tidak memberikan makna, otonomi, dan kesempatan berkembang, mereka cenderung mencari lingkungan yang lebih sesuai atau bahkan menciptakan peluang sendiri.
Salah satu kendala utama yang masih dihadapi banyak perusahaan adalah sistem manajemen yang berfokus pada jam kerja ketimbang hasil yang dicapai. Pola pikir ini membuat karyawan muda merasa tidak dihargai dan kehilangan motivasi untuk memberikan performa terbaik. “Mereka justru bisa menunjukkan hasil yang luar biasa bila diberikan tujuan yang jelas, kebebasan dalam bekerja, dan fleksibilitas,” ujar Bannister. Ia juga menegaskan bahwa berbagai studi kini telah membuktikan fleksibilitas kerja justru meningkatkan produktivitas, bukan menurunkannya.
Bannister mengingatkan bahwa pendekatan seperti micromanagement, budaya kantor yang terlalu seremonial, dan aturan-aturan tanpa alasan yang jelas hanya akan menjauhkan generasi muda. Gen Z tumbuh dalam era digital dengan akses informasi tanpa batas, sehingga mereka membutuhkan kepercayaan, arahan yang transparan, dan ruang untuk berinovasi agar bisa memberikan performa terbaik.
Di sisi lain, Jacqui Gueye, Direktur program di Torrens University Language Centre yang memimpin tim lintas generasi dari Gen Z hingga Boomer, melihat pentingnya pendekatan baru dalam mengelola tenaga kerja muda. Ia menekankan bahwa prioritas utama Generasi Z adalah keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan serta kesehatan mental, bukan kurangnya komitmen. “Ini adalah refleksi dari pergeseran budaya kerja yang signifikan,” jelas Gueye.
Lebih jauh, Gueye menyoroti bagaimana Generasi Z lebih terbuka terhadap keberagaman, termasuk keberagaman neuro, dan menolak gagasan bahwa harus duduk di meja selama delapan jam sebagai satu-satunya cara bekerja. “Jika pekerjaan bisa selesai dalam empat jam, mengapa harus dipaksakan lebih lama?” ujarnya.
Namun, perbedaan gaya ini menjadi tantangan tersendiri. Manajemen tradisional yang masih mengutamakan jam kerja kerap kesulitan memahami preferensi Gen Z yang lebih berorientasi pada hasil. Selain itu, cara komunikasi digital Gen Z yang lebih suka menggunakan chat cepat di platform seperti Microsoft Teams atau pesan singkat sering disalahartikan oleh manajer yang berasal dari generasi sebelumnya sebagai kurangnya kemampuan komunikasi yang baik.
Salah satu hal yang sangat penting bagi Gen Z adalah kebutuhan akan umpan balik yang cepat dan kesempatan untuk belajar langsung dari mentor atau coach. Gueye menjelaskan bahwa generasi ini sudah terbiasa dengan sistem feedback instan dari media sosial, sehingga jika mereka merasa tidak mendapatkan pengembangan atau umpan balik yang cukup, mereka akan mencari peluang lain yang lebih sesuai dengan nilai dan harapan mereka.
Untuk mengoptimalkan potensi Gen Z di dunia kerja, cara terbaik adalah dengan menetapkan ekspektasi yang jelas sejak awal, termasuk jam kerja, tenggat waktu, dan standar kinerja, disertai penjelasan logis yang membuat mereka memahami alasan di balik aturan tersebut. Selain itu, pendekatan personal seperti coaching dan pengembangan karier secara berkelanjutan jauh lebih efektif dibandingkan model manajemen top-down yang kaku.
Kekuatan utama Gen Z terletak pada kemampuan digital dan pola pikir inovatif mereka. Mereka dapat menjadi aset berharga dalam berbagai bidang, terutama strategi media sosial, pemecahan masalah kreatif, serta peningkatan efisiensi proses kerja. Jika perusahaan dapat menyesuaikan gaya manajemen dan menciptakan lingkungan yang mendukung, bukan hanya tantangan yang akan muncul, melainkan peluang besar untuk pertumbuhan bersama.
Dengan demikian, tantangan yang muncul akibat perbedaan generasi ini bukanlah halangan, melainkan sinyal bahwa dunia kerja perlu bertransformasi menuju pola yang lebih fleksibel, inklusif, dan berorientasi hasil agar dapat memaksimalkan potensi semua anggotanya, khususnya Generasi Z yang kini semakin dominan.