Sumber foto: iStock

Gender Pay Gap: Kenapa Gaji Perempuan Masih Lebih Rendah dari Laki-laki?”

Tanggal: 11 Mar 2025 09:50 wib.
Isu mengenai kesenjangan upah berbasis gender, atau yang sering dikenal dengan istilah gender pay gap, merupakan masalah yang acap kali diabaikan di berbagai belahan dunia. Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa kesenjangan ini nyata adanya dan masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara. 

Menurut laporan terbaru dari The Economist, di kalangan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)—sebuah kelompok yang sebagian besar terdiri dari negara-negara berpenghasilan tinggi—kesenjangan upah median berdasarkan gender masih mencengangkan, berada di angka 11,4%. Sayangnya, angka ini mencerminkan peningkatan dibandingkan dengan angka terendah yang tercatat pada tahun 2020, yaitu 11,1%. Hal ini menandakan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, kesenjangan tetap bertahan.

Rata-rata, pekerja perempuan menerima gaji yang lebih rendah sebesar 11,4% jika dibandingkan dengan rekan-rekan laki-laki mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa walaupun perempuan kini lebih banyak menempati posisi kerja di berbagai sektor, mereka masih menghadapi berbagai tantangan yang membuat upah mereka tidak setara dengan laki-laki. 

Sejumlah negara telah berusaha mengambil langkah-langkah tegas untuk mengatasi diskriminasi upah berbasis gender ini. Namun, meskipun ada regulasi yang ditetapkan untuk menutup kesenjangan ini, kenyataannya kesenjangan substansial masih terus ada. Bahkan di negara-negara yang dianggap maju, seperti Jepang dan Australia, situasi ini tampaknya malah semakin buruk. Riset menunjukkan bahwa perempuan di Jepang, misalnya, menghadapi budaya kerja yang dikenal sebagai "karoshi" atau kematian akibat terlalu banyak bekerja, yang kian memperburuk posisi mereka dalam dunia kerja.

Salah satu faktor yang telah memperparah kesenjangan upah selama beberapa tahun terakhir adalah dampak dari pandemi COVID-19. Krisis global ini membuat banyak pekerja perempuan terpaksa menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) atau memilih untuk resign guna merawat anak-anak mereka yang terpaksa belajar dari rumah. Angka ini menunjukkan pola bahwa perempuan memiliki tanggung jawab tambahan di rumah yang seringkali menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh di pasar tenaga kerja.

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga profesor hukum Amerika—Naomi Cahn, June Carbone, dan Nancy Levit—yang berjudul "Fair Shake", penulis mengemukakan bahwa perempuan masih sering tersisih dari sektor-sektor yang menawarkan gaji tinggi, seperti industri teknologi. Pekerjaan di sektor ini sering kali memerlukan jam kerja yang panjang dan pengorbanan waktu pribadi yang tidak sedikit, sehingga membuat perempuan ragu untuk melanjutkan karier di bidang tersebut. Hal ini diperparah dengan budaya kerja yang menuntut para pekerja untuk selalu bersaing demi mendapatkan bonus, suatu skenario yang cenderung menguntungkan pekerja laki-laki.

Contoh nyata adalah pada proporsi perempuan dalam bidang ilmu komputer yang mencapai puncaknya pada tahun 1986. Ironisnya, saat ini, jumlah perempuan yang bekerja di sektor ini dua kali lebih besar kemungkinannya untuk meninggalkan industri teknologi dibandingkan laki-laki. Pecahnya kesetaraan ini mencerminkan adanya kejantanan dan dominasi laki-laki yang masih mengakar kuat di Silicon Valley, yang dapat mengakibatkan perempuan merasa tidak nyaman atau tidak diterima dalam lingkungan kerja tersebut.

Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa ketika perempuan memasuki bidang yang didominasi laki-laki, seperti teknik dan teknologi, imbalan finansial mereka cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi perempuan sering kali dianggap lebih rendah dibandingkan bila rekan mereka laki-laki yang menempati posisi yang sama, meskipun kinerja mereka tidak jauh berbeda.

Permasalahan lain yang turut memperburuk situasi adalah isu pelecehan seksual di lingkungan kerja. Sektor-sektor yang didominasi oleh laki-laki tidak jarang menjadi tempat yang tidak nyaman bagi pekerja perempuan. Kasus pelecehan seksual yang marak di tempat kerja membuat banyak perempuan merasa terpaksa untuk berpindah ke pekerjaan dengan gaji yang lebih rendah, hanya untuk menghindari situasi yang merugikan mereka.

Semua aspek ini menunjukkan kompleksitas masalah kesenjangan upah berbasis gender dan bagaimana berbagai faktor baik dari lingkungan kerja maupun dari norma sosial dapat mempengaruhi posisi finansial perempuan. Data dan penelitian terus menunjukkan bahwa kesenjangan ini bukan hanya sekadar angka yang dapat diabaikan, tetapi merupakan isu serius yang perlu menjadi perhatian di seluruh dunia.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved