Gen Z vs Dunia Kerja: Alasan Perusahaan Sering Memecat Fresh Graduate & Kisah Pilu di Baliknya
Tanggal: 30 Mar 2025 12:23 wib.
Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, isu pemecatan karyawan menjadi sorotan utama, terutama bagi mereka yang berada di Generasi Z, atau yang sering disebut Gen Z. Laporan terbaru dari platform konsultasi pendidikan dan karier, Intelligent, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan saat ini melakukan pemecatan terhadap karyawan Gen Z mereka.
Menurut survei tersebut, sekitar enam dari sepuluh perusahaan yang terlibat dalam penelitian menyatakan telah memecat para lulusan universitas yang baru saja mereka rekrut pada tahun ini. Fenomena ini menjadi tanda tanya besar di tengah harapan para milenial muda ini untuk mengejar karier yang ideal.
Ada beberapa alasan yang mengemuka terkait keputusan pemecatan tersebut. Salah satu faktor utama yang sering kali disebutkan ialah kurangnya motivasi dari karyawan, yang diikuti dengan profesionalisme yang diragukan dan keterampilan komunikasi yang tidak memadai. Huy Nguyen, kepala penasihat pendidikan dan pengembangan karier Intelligent, berpendapat bahwa banyak lulusan baru yang mengalami kesulitan saat memasuki dunia kerja.
"Hal ini bisa sangat berbeda dari apa yang biasa mereka alami selama belajar. Banyak dari mereka tidak siap menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang kurang terstruktur, dinamika budaya perusahaan, hingga ekspektasi pekerjaan yang lebih mandiri," ujarnya dalam sebuah pernyataan yang dilansir oleh Euronews.
Data tambahan juga menunjukkan bahwa Gen Z cenderung mengalami ketergantungan yang tinggi pada orang tua selama proses pencarian kerja. Sebuah survei yang dilakukan oleh ResumeTemplates menemukan bahwa hingga 70 persen dari mereka mengaku meminta bantuan orang tua mereka saat melamar pekerjaan. Bahkan, sekitar 25 persen dari mereka mengajak orang tua pergi ke wawancara kerja, sementara ada yang lebih ekstrim dengan meminta orang tua mereka untuk menulis resume dan mengirimkan lamaran kerja.
Berikut adalah daftar alasan mengapa perusahaan memutuskan untuk memecat karyawan Gen Z:
1. Kurangnya motivasi atau inisiatif - 50 persen
2. Kurangnya profesionalisme - 46 persen
3. Keterampilan berorganisasi yang buruk - 42 persen
4. Keterampilan komunikasi yang tidak memadai - 39 persen
5. Kesulitan menerima umpan balik - 38 persen
6. Kurangnya pengalaman kerja yang relevan - 38 persen
7. Keterampilan pemecahan masalah yang buruk - 34 persen
8. Keterampilan teknis yang tidak memadai - 31 persen
9. Ketidakcocokan budaya - 31 persen
10. Kesulitan bekerja dalam tim - 30 persen
Pengalaman pribadi dari seorang Gen Z bernama Gebsy (nama samaran) memberikan efek amplifikasi pada situasi ini. Ia merupakan seorang lulusan berusia 25 tahun yang tinggal di Jakarta. Gebsy menjadi salah satu korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah dipekerjakan di sebuah perusahaan teknologi. Menurut Gebsy, alasannya dipecat adalah karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan, meskipun ia merasa telah berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan tugas yang diberikan.
Dari pandangannya, ketidakcocokan antara dirinya sebagai Gen Z dengan atasan yang berasal dari generasi Baby Boomers dan Milenial menjadi salah satu faktor utama dalam masalah ini. Selama tiga bulan bekerja, Gebsy mengaku sering kali merasa diremehkan oleh rekan kerja dan atasannya. "Mereka tuh, kolot, lah. Selalu meremehkan, seleranya dalam desain terlalu kuno, enggak menghargai dan membebaskan kreativitas saya sebagai Gen Z. Apalagi, enggak ada keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan," ungkap Gebsy kepada CNBC Indonesia.
Selain merasa diremehkan, masalah lainnya yang membuat Gebsy kehilangan semangat kerja adalah soal upah. Ia merasa keberatan adanya cibiran dari atasannya ketika mengajukan permohonan kenaikan gaji. Menurut lulusan Desain Komunikasi Visual dari sebuah universitas di Tangerang ini, permohonan kenaikan gaji adalah hal yang wajar dilakukan, terlebih dengan gaji yang ditawarkan jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, yang tercatat sekitar Rp3,7 juta. Menurut Gebsy, nominal gaji tersebut sangat tidak layak untuk seorang desainer grafis, dan ia juga sering kali menerima pekerjaan di luar tanggung jawab utamanya, tanpa adanya penghargaan yang sesuai.
Fenomena ini menjadi perhatian penting, tidak hanya bagi Generasi Z tetapi juga untuk perusahaan yang ingin mempertahankan talenta muda. Perusahaan harus memahami perbedaan generasi ini dan bagaimana cara terbaik untuk membangun lingkungan kerja yang inklusif dan inovatif. Pemerlakuan kebijakan yang mendukung pengembangan karier dan pelatihan dapat menjadi salah satu kunci untuk mencegah terjadinya pemecatan yang tidak diinginkan. Dengan memahami harapan dan kebutuhan karyawan Gen Z, perusahaan dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan produktif, serta meningkatkan tingkat retensi karyawan.