Gedung Kantor di Jakarta Sulit Terisi, Bos Properti Mengungkap Penyebabnya
Tanggal: 27 Jun 2024 19:24 wib.
Permintaan di sektor properti, terutama gedung perkantoran, masih belum menunjukkan pertumbuhan signifikan. Dilansir dari data lembaga konsultan properti Leads Property, terdapat sekitar 3,1 juta m² ruang kosong di pasar perkantoran di Jakarta.
Menurut Direktur PT Ciputra Development Tbk, Artadinata Djangkar, pasar perkantoran sewa masih belum menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Sisa pasokan yang belum terserap masih besar, sehingga okupansi rata-rata hanya sekitar 75%. Kondisi ini mengakibatkan pengembang dan pengelola properti kesulitan untuk menaikkan tarif sewa.
"Meskipun sejak akhir tahun 2022 terdapat sedikit perbaikan, di mana pasar perkantoran sewa mengalami 'net demand', jumlah kebutuhan tahunan lebih besar dari pasokan baru tahunan," jelas Artadinata kepada CNBC Indonesia pada Rabu (26/6/2024). Namun, kenaikan permintaan ini masih belum mampu secara signifikan meningkatkan tingkat keterisian ruang perkantoran.
Artadinata menjelaskan bahwa kondisi ini berawal dari dampak pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada tahun 2020. Sebelum pandemi, terdapat pasokan baru gedung perkantoran yang cukup besar. "Saya kira masalah ini tidak terlalu berkaitan dengan kondisi ekonomi. Masalah utamanya terletak pada kelebihan pasokan yang cukup besar sebelum pandemi," ungkapnya.
"Impak dari work from home (WFH) yang berlangsung cukup lama saat pandemi cukup signifikan. Setelah pandemi berakhir, beberapa perusahaan, terutama perusahaan asing, masih menerapkan WFH sebentar (1 atau 2 hari seminggu) dan melakukan penggunaan ruang yang lebih efisien dengan mengubah tata letak kantor. Bahkan ada perusahaan yang mengurangi luas kantor," tambah Artadinata.
Sebelum pandemi, tingkat keterisian gedung perkantoran mencapai di atas 80%, atau sekitar 83-84%. "Menurut pandangan saya, sebelum pandemi, sudah terjadi kelebihan kapasitas sehingga terjadi penumpukan pasokan. Kemudian kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pandemi," paparnya.
Lalu, bagaimana nasib gedung perkantoran kedepannya? Apakah akan terjadi penundaan atau penurunan permintaan, serta pengurangan pasokan baru, terutama menjelang pergantian pemerintahan?
Artadinata menegaskan bahwa karena kondisi belum membaik, pembangunan kantor baru akan sangat minim. "Saya kira hal ini tidak terkait dengan 'wait and see' (pergantian pemerintahan)," tegasnya.
Dengan adanya kebijakan baru yang mungkin akan diperkenalkan oleh pemerintah yang baru, pasar properti perkantoran di Jakarta dapat mengalami perubahan lebih lanjut. Dikhawatirkan bakal muncul penurunan aktivitas di sektor ini, terutama jika ada kebijakan pengurangan investasi atau pembatasan regulasi.
Pengelolaan kondisi lingkungan juga turut berperan dalam kesulitan penjualan gedung perkantoran. Faktor eksternal seperti polusi udara, kemacetan lalu lintas, dan kurangnya fasilitas umum yang memadai juga dapat menjadi alasan kurangnya minat terhadap gedung perkantoran di Jakarta.
Meskipun demikian, strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan daya tarik gedung perkantoran antara lain dengan meningkatkan kualitas ruang dan fasilitas, memperbaiki akses transportasi, serta mengintegrasikan teknologi hijau sebagai bagian dari solusi untuk menarik minat penyewa.
Dari sisi pasar, pihak pengembang perlu memahami perubahan pola kerja dan kebutuhan perusahaan dalam hal ruang perkantoran. Mereka perlu mampu menyesuaikan strategi pemasaran dan penawaran sewa yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi kebutuhan pelanggan.
Dengan adanya perkembangan teknologi, terdapat kemungkinan untuk mengubah ruang perkantoran yang kurang diminati menjadi ruang sosial atau komunitas, atau bahkan ruang multifungsi seperti pusat kuliner atau area rekreasi. Hal ini dapat meningkatkan penggunaan ruang dan nilai investasi bagi gedung perkantoran yang sulit diisi.