Fenomena Resign Massal Generasi Z: Antara Tekanan Kerja dan Minimnya Dukungan
Tanggal: 17 Mei 2025 14:09 wib.
Tampang.com | Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, kini mulai mendominasi dunia kerja di Indonesia. Dengan jumlah mencapai sekitar 75 juta jiwa, mereka tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan informasi digital. Namun, kehadiran mereka di dunia profesional tidak selalu berjalan mulus. Banyak perusahaan kini menghadapi tantangan baru dalam memahami dan mempertahankan generasi ini di tempat kerja.
Karakter Unik yang Membentuk Dinamika Baru di Dunia Kerja
Sebagai digital native, generasi Z dikenal cepat beradaptasi dengan teknologi dan informasi. Sayangnya, mereka juga kerap merasa kurang percaya diri dalam mengambil keputusan penting. Hubungan emosional yang longgar dengan perusahaan, sikap individualistis, serta kecenderungan untuk mempertanyakan hierarki membuat mereka lebih terbuka untuk berpindah kerja dibanding generasi sebelumnya.
Fenomena global The Great Resignation menjadi cerminan nyata dari tren ini. Di Indonesia, survei mencatat bahwa 77 persen profesional mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru, dan menariknya, 65 persen dari mereka berasal dari generasi Z yang baru memulai karier.
Beban Kerja Tinggi dan Tekanan Mental: Kombinasi yang Melelahkan
Salah satu alasan utama banyak generasi Z memilih untuk resign adalah beban kerja yang tidak sebanding dengan kompensasi dan minimnya dukungan dari perusahaan. Tekanan ini tidak hanya datang dari tumpukan tugas, tetapi juga dari hubungan kerja yang kurang harmonis dan ekspektasi yang tinggi.
Menurut survei Deloitte tahun 2024, empat dari sepuluh karyawan generasi Z mengaku mengalami stres kronis akibat beban kerja berlebih dan kurangnya penghargaan dari atasan. Dalam kondisi seperti ini, stres bisa berkembang menjadi kelelahan mental, berkurangnya produktivitas, bahkan keinginan untuk berhenti bekerja.
Peran Dukungan Sosial yang Masih Terbatas
Dukungan sosial semestinya bisa menjadi peredam tekanan dalam lingkungan kerja. Hubungan yang sehat dengan rekan kerja, atasan, atau bahkan pelanggan dapat membantu menurunkan tingkat stres. Namun, sayangnya, dalam banyak kasus, dukungan semacam ini belum cukup kuat untuk mengimbangi beban dan tekanan yang dihadapi generasi Z.
Dalam beberapa penelitian, termasuk studi di PT Bentoel Prima Malang, ditemukan bahwa dukungan sosial dari lingkungan kerja belum mampu menahan niat resign jika beban kerja dan stres sudah melewati batas toleransi individu. Ini memperlihatkan bahwa walaupun seseorang merasa "didukung", ia tetap bisa merasa terjebak dalam sistem kerja yang tidak sehat.
Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi Jadi Kunci
Generasi Z lebih vokal dan sadar akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka menuntut ruang yang lebih sehat untuk tumbuh dan berkembang, bukan hanya sekadar tempat untuk memenuhi target.
Penelitian terbaru menunjukkan adanya korelasi kuat antara beban kerja tinggi dengan intensi resign, dan stres kerja menjadi jembatan yang memperkuat hubungan tersebut. Ketika tugas datang mendadak, jam kerja tak menentu, dan tekanan terus meningkat, karyawan bisa merasa tidak dihargai. Akibatnya, mereka akan mencari lingkungan baru yang memberikan penghargaan lebih terhadap waktu, energi, dan kesehatan mental.
Solusi: Reorientasi Strategi Perusahaan terhadap Talenta Muda
Menghadapi tantangan ini, perusahaan perlu melakukan lebih dari sekadar menciptakan budaya kerja yang menyenangkan. Mereka harus benar-benar memahami karakteristik generasi Z dan mengelola beban kerja dengan bijak. Ini mencakup:
Membagi tugas secara adil dan realistis
Memberikan pelatihan pengembangan diri
Memastikan jam kerja tidak melebihi batas wajar
Memberikan ruang untuk istirahat dan pemulihan
Membangun komunikasi terbuka dan penghargaan yang tulus
Dukungan sosial memang penting, namun itu harus menjadi bagian dari strategi yang lebih luas dalam menciptakan tempat kerja yang sehat dan berkelanjutan bagi generasi muda.