Sumber foto: iStock

Fenomena Kumpul Kebo di Indonesia: Tren Baru atau Ancaman Sosial?

Tanggal: 5 Apr 2025 19:26 wib.
Fenomena 'kumpul kebo' atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan semakin marak di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Perubahan pola pikir terkait pernikahan menjadi salah satu faktor yang mendorong tren ini. Tak hanya di masyarakat umum, praktik ini bahkan ditemukan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), yang akhirnya berujung pada tindakan tegas dari Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Kumpul Kebo di Kalangan ASN: Sanksi dan Tindakan Tegas

Baru-baru ini, Kepala BKN, Zudan Arif, mengumumkan pemecatan terhadap delapan ASN yang dianggap melanggar aturan, termasuk kasus kumpul kebo. Selain itu, beberapa kasus lainnya mencakup pelanggaran berat seperti penyalahgunaan narkoba dan ketidakhadiran kerja tanpa alasan yang jelas.

Fenomena ini mencerminkan adanya pergeseran sosial yang cukup signifikan dalam masyarakat Indonesia. Menurut laporan dari The Conversation, banyak anak muda saat ini menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang terlalu normatif dan penuh aturan rumit. Sebagai gantinya, mereka memilih untuk hidup bersama tanpa ikatan resmi, yang menurut mereka lebih praktis dan autentik.

Pergeseran Nilai Sosial dalam Hubungan

Di negara-negara Asia, di mana budaya dan agama masih sangat berperan dalam kehidupan sosial, kohabitasi atau kumpul kebo umumnya masih dianggap tabu. Namun, beberapa pasangan melihatnya sebagai langkah awal sebelum menikah. Studi yang dilakukan pada tahun 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation menunjukkan bahwa kumpul kebo lebih sering ditemukan di wilayah timur Indonesia, terutama di daerah dengan mayoritas penduduk non-Muslim.

Yulinda Nurul Aini, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menemukan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama mengapa pasangan di Manado memilih untuk hidup bersama tanpa menikah, yaitu:



Faktor Ekonomi – Pernikahan membutuhkan biaya besar, sehingga sebagian pasangan memilih kohabitasi sebagai solusi sementara.
 


Prosedur Perceraian yang Rumit – Banyak pasangan menghindari pernikahan karena takut menghadapi proses perceraian yang kompleks dan memakan waktu lama.
 


Penerimaan Sosial – Di beberapa komunitas, terutama di daerah urban, kohabitasi mulai diterima sebagai sesuatu yang lumrah.
 



Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kumpul Kebo

Meski dianggap sebagai solusi praktis bagi sebagian pasangan, kumpul kebo memiliki konsekuensi yang tidak bisa diabaikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Menurut Yulinda, dalam kohabitasi tidak ada perlindungan hukum terkait jaminan finansial bagi ibu dan anak seperti yang berlaku dalam pernikahan resmi.

Ketika pasangan yang hidup bersama tanpa menikah akhirnya berpisah, tidak ada regulasi yang mengatur pembagian aset, hak asuh anak, atau tunjangan finansial. Akibatnya, perempuan sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan dalam situasi ini.

Dari aspek kesehatan mental, kohabitasi juga dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan pasangan menikah. Minimnya komitmen dalam hubungan semacam ini sering kali menimbulkan rasa tidak aman dan ketidakpastian mengenai masa depan.

Menurut data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam berbagai bentuk. Dari jumlah tersebut:



0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal.
 


0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
 



Sementara itu, anak-anak yang lahir dari pasangan kohabitasi juga berisiko mengalami gangguan perkembangan emosional dan sosial. Dalam beberapa kasus, mereka menghadapi stigma sosial dan diskriminasi, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Rasa tidak diakui ini dapat berdampak pada identitas dan kesejahteraan psikologis mereka.

Bagaimana Masyarakat Harus Menyikapi Fenomena Ini?

Fenomena kumpul kebo di Indonesia menunjukkan perubahan dalam cara masyarakat memandang institusi pernikahan. Namun, penting untuk memahami bahwa meskipun memberikan kebebasan bagi individu, kohabitasi juga membawa konsekuensi yang tidak bisa diabaikan.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menyikapi tren ini antara lain:



Edukasi dan Kesadaran Hukum – Masyarakat perlu memahami hak dan kewajiban dalam pernikahan serta dampak hukum dari kohabitasi.
 


Perlindungan Sosial bagi Perempuan dan Anak – Pemerintah perlu mempertimbangkan regulasi yang melindungi perempuan dan anak yang lahir dari pasangan kohabitasi.
 


Pendekatan Budaya dan Agama – Sosialisasi mengenai pentingnya pernikahan dalam aspek budaya dan agama bisa membantu mengurangi tren ini.



Kumpul kebo bukan hanya sekadar tren sosial, tetapi juga fenomena yang memiliki dampak jangka panjang terhadap individu dan masyarakat. Pergeseran pandangan terhadap pernikahan, faktor ekonomi, serta penerimaan sosial menjadi pemicu utama tren ini di kalangan anak muda Indonesia.

Namun, konsekuensi dari kohabitasi tidak bisa diabaikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang sering kali mengalami ketidakpastian hukum dan finansial. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami dampak kohabitasi serta mempertimbangkan langkah-langkah yang dapat melindungi semua pihak yang terlibat
Copyright © Tampang.com
All rights reserved