Sumber foto: iStock

Fenomena Kumpul Kebo di Indonesia: Penyebab, Dampak, dan Fakta Mengejutkan di Baliknya

Tanggal: 23 Feb 2025 12:03 wib.
Tampang.com | Belakangan ini, fenomena pasangan muda-mudi yang tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan semakin marak di Indonesia. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut praktik ini adalah ‘kumpul kebo’. Meski masih dianggap tabu dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat, kenyataannya jumlah pasangan yang menjalani gaya hidup ini terus bertambah.

Bahkan, fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di antara Aparatur Sipil Negara (ASN). Baru-baru ini, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif, mengumumkan bahwa delapan ASN telah diberhentikan karena berbagai pelanggaran, termasuk praktik kumpul kebo.

Mengapa Kumpul Kebo Semakin Marak?

Sebuah laporan dari The Conversation menyebutkan bahwa ada pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan di kalangan anak muda. Jika dahulu pernikahan dianggap sebagai tujuan utama dalam hubungan, kini semakin banyak anak muda yang melihatnya sebagai sesuatu yang normatif dan penuh aturan yang rumit. Sebagai gantinya, mereka menganggap kohabitasi sebagai bentuk hubungan yang lebih murni dan didasari oleh cinta, tanpa adanya tekanan dari institusi pernikahan.

Di banyak negara Asia yang masih menjunjung tinggi budaya, agama, dan tradisi, kohabitasi memang belum sepenuhnya diterima. Namun, dalam beberapa kasus, fenomena ini seringkali dianggap sebagai langkah awal sebelum pasangan memutuskan untuk menikah.

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2021 dengan judul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa kohabitasi lebih banyak terjadi di wilayah timur Indonesia, yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, ada tiga alasan utama mengapa pasangan memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah:


Beban finansial – Pernikahan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga beberapa pasangan memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah.
Prosedur perceraian yang rumit – Beberapa pasangan yang sudah menikah merasa enggan untuk menghadapi proses perceraian yang panjang dan sulit.
Penerimaan sosial – Di beberapa daerah, kohabitasi mulai dianggap lebih wajar dan diterima oleh masyarakat sekitar.


Seberapa Banyak Pasangan yang Melakukan Kumpul Kebo?

Data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa sekitar 0,6% penduduk Kota Manado, Sulawesi Utara, tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Dari jumlah tersebut:


1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan.
24,3% berusia di bawah 30 tahun.
83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah.
11,6% tidak bekerja, sedangkan 53,5% bekerja di sektor informal.


Data ini menunjukkan bahwa kohabitasi tidak hanya terjadi di satu kelompok sosial tertentu, tetapi dapat ditemukan di berbagai latar belakang ekonomi dan pendidikan.

Dampak Negatif Kumpul Kebo

Meskipun ada pasangan yang memilih kohabitasi sebagai gaya hidup mereka, fenomena ini tidak lepas dari berbagai dampak negatif, terutama bagi perempuan dan anak. Berikut beberapa dampak yang perlu diperhatikan:

1. Dampak Ekonomi

Dalam pernikahan, hukum mengatur kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Namun, dalam hubungan kohabitasi, tidak ada jaminan hukum yang memastikan kesejahteraan finansial bagi ibu dan anak. Jika hubungan berakhir, tidak ada regulasi yang mengatur pembagian aset, hak waris, maupun dukungan finansial.

2. Dampak Psikologis dan Sosial

Dari segi kesehatan mental, pasangan yang menjalani kumpul kebo lebih rentan mengalami stres dan ketidakpastian dalam hubungan mereka. Minimnya komitmen dan kepercayaan seringkali menjadi pemicu konflik. Data dari PK21 menunjukkan bahwa:


69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa yang buruk.
0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal.
0,26% mengalami konflik dalam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).


Selain itu, stigma dari masyarakat terhadap pasangan yang hidup bersama tanpa menikah juga masih cukup kuat, yang dapat berdampak pada kehidupan sosial mereka.

3. Dampak pada Anak

Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi sering menghadapi tantangan lebih besar dalam aspek hukum, sosial, dan psikologis. Beberapa dampak yang dapat terjadi adalah:


Kebingungan identitas – Anak mungkin mengalami kesulitan memahami posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat.
Kurangnya perlindungan hukum – Karena tidak ada ikatan hukum resmi antara orang tua, hak anak sering kali tidak terlindungi dengan baik.
Stigma sosial – Anak-anak yang lahir di luar pernikahan sah sering mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitar.


Menurut Yulinda, anak-anak dari pasangan kohabitasi memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan perkembangan dan masalah emosional akibat lingkungan keluarga yang kurang stabil.

Kesimpulan

Fenomena kumpul kebo semakin meningkat di Indonesia, terutama di kalangan anak muda yang memiliki pandangan berbeda terhadap pernikahan dibandingkan generasi sebelumnya. Faktor ekonomi, sosial, dan budaya turut mempengaruhi meningkatnya tren ini. Meskipun kohabitasi dianggap sebagai pilihan pribadi, penting untuk memahami konsekuensi jangka panjangnya, terutama bagi perempuan dan anak yang sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan.

Tanpa adanya perlindungan hukum yang jelas, pasangan kohabitasi dapat menghadapi berbagai tantangan yang lebih besar dibandingkan pasangan yang menikah secara resmi. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk menjalani kohabitasi, penting untuk mempertimbangkan semua aspek, termasuk dampak finansial, sosial, dan psikologis yang mungkin terjadi di masa depan.

 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved