Fenomena Kohabitasi di Indonesia: Tren, Alasan, dan Dampaknya bagi Perempuan dan Anak
Tanggal: 11 Jan 2025 21:37 wib.
Tampang.com | Fenomena kohabitasi atau "kumpul kebo", serta kelahiran anak di luar pernikahan, semakin marak di kota-kota besar Indonesia. Kohabitasi merujuk pada kondisi di mana pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.Generasi muda kini semakin memandang pernikahan sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks. Sebaliknya, kohabitasi dipandang sebagai hubungan murni yang mencerminkan cinta dan daya tarik mutualisme.
Menurut teori "Second Demographic Transition" (SDT) yang dikemukakan oleh Profesor Ron Lesthaeghe dari Belgia, pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai bentuk persatuan konvensional yang didasarkan pada norma dan nilai sosial.
Sebagai gantinya, kohabitasi menjadi bentuk baru pembentukan keluarga. Tren kohabitasi bervariasi di berbagai negara, di mana kohabitasi telah diakui secara hukum di Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Di Belanda, misalnya, tingkat kohabitasi mencapai 50%, dengan durasi rata-rata lebih dari empat tahun, dan kurang dari separuh pasangan melanjutkan ke pernikahan. Belanda juga mengakui berbagai bentuk pembentukan relasi melalui Civil Solidarity Pact (Pacs) sejak 1998.
Di Asia, kohabitasi tidak diakui secara legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Kohabitasi cenderung berlangsung singkat dan sering dianggap sebagai tahap awal menuju pernikahan.
Di Jepang, sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan rata-rata durasi sekitar dua tahun, dan sekitar 58% dari mereka melanjutkan ke jenjang pernikahan. Angka kelahiran anak di luar pernikahan di Jepang hanya sekitar 2%, terendah di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Di Indonesia, kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa sekitar 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi.
Dari populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% diantaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% bekerja secara informal.
Selanjutnya, beberapa faktor telah menjadi penyebab masyarakat Indonesia mulai marak melakukan kohabitasi atau kumpul kebo.
Beban Finansial
Di Manado, pasangan cenderung memilih kohabitasi sebagai alternatif karena mereka belum siap secara finansial untuk menanggung biaya pernikahan. Biaya pernikahan di Indonesia seringkali berkaitan dengan mahar yang besarannya ditentukan oleh status sosial, pendidikan, dan level pekerjaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa kasus, pasangan harus menunggu beberapa tahun agar mampu mengumpulkan biaya mahar yang cukup besar.
Rumitnya Prosedur Perceraian
Faktor lain yang mendorong pasangan memilih kohabitasi adalah karena mereka tidak perlu melalui prosedur birokrasi perceraian yang rumit dan mahal ketika memutuskan berpisah.
Proses perceraian membutuhkan banyak biaya, mulai dari biaya perkara, jasa pengacara, hingga pembagian harta gana-gini, hak asuh anak, dan lain-lain. Selain itu, dalam ajaran agama Kristen dan Katolik, yang mayoritas dianut oleh penduduk kota Manado, terdapat ayat yang menyatakan ketidakbolean dalam menceraikan pasangan, membuat pasangan mungkin memilih kohabitasi sebagai alternatif yang lebih fleksibel.
Penerimaan Sosial
Adanya penerimaan sosial terhadap pasangan kohabitasi menjadi faktor pendorong kohabitasi di Manado. Penerimaan ini dipengaruhi oleh nilai budaya yang menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan, serta faktor ekonomi yang seragam di kalangan masyarakat lokal, yang membuat mereka lebih toleran terhadap praktik kohabitasi.
Pasangan kohabitasi di Manado sering kali memiliki komitmen serius dan tetap berorientasi pada pernikahan. Mereka rata-rata menjalani kohabitasi selama 3-5 tahun sebelum memutuskan menikah.
Secara lebih luas, kohabitasi atau kumpul kebo membawa dampak multidimensional, terutama bagi perempuan dan anak. Ketiadaan payung hukum yang melindungi mereka menciptakan ketidakpastian ekonomi dan sosial, mulai dari tidak adanya kewajiban nafkah hingga ketiadaan aturan pembagian aset jika pasangan berpisah.
Dampak kesehatan mental akibat ketidakstabilan hubungan juga tidak dapat diabaikan, baik bagi pasangan maupun anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut. Stigma sosial yang menyertainya semakin memperparah situasi, menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap diskriminasi.