Fenomena Flexing di Sosial Media dan Dampaknya ke Psikologi Sosial
Tanggal: 20 Mei 2025 21:37 wib.
Di era digital sekarang, pasti sering banget kita melihat fenomena yang namanya "flexing" di sosial media. Istilah ini merujuk pada kebiasaan seseorang untuk pamer kemewahan, kekayaan, atau pencapaian yang mencolok di platform daring seperti Instagram, TikTok, atau X. Dari mulai pamer mobil mewah, liburan ke luar negeri, tas branded, makanan mahal, sampai sekadar struk belanjaan yang fantastis. Awalnya mungkin terlihat biasa saja, seolah bagian dari kebebasan berekspresi. Tapi, kalau kita amati lebih jauh, fenomena flexing ini punya dampak yang lumayan signifikan, terutama ke psikologi sosial kita.
Salah satu dampak paling nyata dari FlexingCulture adalah munculnya standar hidup yang seringkali nggak realistis. Ketika feed kita dipenuhi dengan orang-orang yang pamer kekayaan, secara nggak sadar kita jadi membandingkan diri. "Kok dia bisa liburan ke Maldives, aku boro-boro?" atau "Duh, dia udah pakai tas jutaan, aku masih pakai ini." Perbandingan ini, kalau terus-menerus terjadi, bisa memicu rasa iri, frustrasi, dan insecure. Kita jadi merasa hidup kita kurang, nggak cukup, atau nggak sebahagia orang lain, padahal apa yang ditampilkan di media sosial itu seringkali hanyalah bagian kecil dan sempurna dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhan SosialMediaFake yang ada.
Tekanan untuk "sama" atau bahkan "lebih baik" dari yang lain ini kemudian memengaruhi harga diri seseorang. Bagi sebagian orang, flexing bisa jadi cara untuk mendapatkan validasi dan pengakuan. Mereka merasa "berharga" ketika unggahan mereka banyak disukai atau dikomentari. Ini adalah bentuk pencarian self-worth dari luar, yang sangat rentan. Kalau validasi itu nggak didapat, atau kalau ada orang lain yang "flexing"-nya lebih keren, bisa langsung bikin mental jadi down. Akibatnya, alih-alih membangun harga diri yang kuat dari dalam, kita malah jadi bergantung pada pandangan orang lain di dunia maya.
Fenomena ini juga bisa menciptakan semacam lingkaran setan. Orang yang insecure karena melihat flexing orang lain, mungkin akan merasa terdorong untuk ikut flexing agar dianggap sukses atau bahagia. Mereka jadi memaksakan diri membeli barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuan finansial, hanya demi bisa pamer di media sosial. Ini tentu saja bisa berujung pada masalah finansial yang serius, seperti utang menumpuk, atau gaya hidup yang nggak sehat. Mereka terjebak dalam ilusi kemewahan yang sebenarnya rapuh.
Dampak lainnya adalah erosi empati dan rasa syukur. Ketika kita terus-menerus disuguhi tayangan kemewahan, kita jadi lupa bahwa di luar sana masih banyak orang yang berjuang untuk kebutuhan dasar. Prioritas jadi bergeser, dari mencari kebahagiaan sejati atau berkontribusi pada sesama, menjadi mengejar materi dan validasi semu. Ini bisa mengikis kemampuan kita untuk bersyukur atas apa yang sudah dimiliki dan berempati terhadap kesulitan orang lain.
Tentu saja, nggak semua yang pamer itu niatnya buruk atau berdampak negatif. Ada juga yang memang berbagi kebahagiaan atau pencapaian dengan cara yang sehat. Tapi, sebagai pengguna sosial media, kita perlu bijak dalam menyaring apa yang kita lihat dan bagaimana kita meresponsnya. Penting untuk selalu mengingatkan diri bahwa apa yang ditampilkan di feed itu seringkali bukan gambaran utuh dari realitas.
Jadi, fenomena flexing di sosial media ini bukan cuma soal gaya-gayaan, tapi punya DampakPsikologis yang cukup dalam. Ia bisa memicu perbandingan sosial yang nggak sehat, memengaruhi harga diri, mendorong perilaku konsumtif yang berlebihan, dan bahkan mengikis empati. Penting bagi kita untuk lebih fokus pada kebahagiaan sejati, membangun harga diri dari dalam, dan menggunakan sosial media secara lebih positif dan bertanggung jawab, agar kita nggak terjebak dalam ilusi kemewahan yang justru bikin mental jadi down.