Sumber foto: Canva

Fenomena Fake Life di Media Sosial

Tanggal: 11 Agu 2025 09:21 wib.
Setiap hari, kita dibombardir dengan ribuan foto dan cerita yang menampilkan kehidupan yang tampak sempurna: liburan mewah, makan malam di restoran eksklusif, senyum bahagia yang tak pernah pudar, dan pencapaian-pencapaian luar biasa. Namun, di balik semua postingan itu, muncul sebuah fenomena yang dikenal sebagai fake life. Ini adalah kecenderungan seseorang menampilkan versi diri dan kehidupannya yang tidak sesuai dengan kenyataan, menciptakan ilusi kebahagiaan dan kesuksesan demi validasi dari orang lain.

Mendorong Perbandingan Sosial dan Kecemasan

Salah satu dampak paling nyata dari fenomena fake life adalah meningkatnya perbandingan sosial. Saat melihat hidup orang lain yang seolah tanpa cela di media sosial, kita cenderung membandingkan kehidupan kita sendiri dengan mereka. Perbandingan ini seringkali tidak adil karena kita hanya melihat "bagian terbaik" dari kehidupan orang lain, sementara kita tahu semua kekurangan dan masalah dalam hidup kita sendiri.

Perbandingan yang terus-menerus ini dapat memicu kecemasan, rasa iri, dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Kita merasa seolah-olah hidup kita tidak cukup baik, pencapaian kita tidak signifikan, atau kita kurang bahagia. Padahal, yang kita lihat hanyalah potret yang sudah diedit dan dikurasi, bukan realitas utuh. Dampak psikologis ini bisa sangat merusak, terutama bagi mereka yang memiliki kepercayaan diri rendah.

Menciptakan Kehidupan Palsu demi Validasi

Penyebab utama seseorang menampilkan fake life seringkali adalah kebutuhan akan validasi. Di media sosial, jumlah "like", komentar positif, dan jumlah pengikut seringkali diartikan sebagai ukuran kesuksesan dan penerimaan sosial. Seseorang merasa terdorong untuk memposting hal-hal yang akan mendapatkan respons positif, bahkan jika itu tidak sepenuhnya jujur.

Mereka mungkin memotret kopi mahal yang sebenarnya dibeli hanya untuk difoto, berpose di depan mobil mewah yang bukan miliknya, atau memanipulasi cerita agar terdengar lebih dramatis dan inspiratif. Tujuannya adalah untuk membangun citra diri yang diinginkan dan mendapatkan pengakuan dari komunitas online. Ironisnya, semakin banyak validasi yang dicari dari luar, semakin jauh seseorang dari penerimaan diri yang sejati.

Mengaburkan Batas antara Realita dan Fiksi

Fenomena fake life juga mengaburkan batas antara realita dan fiksi. Media sosial seharusnya menjadi alat untuk berbagi, tapi kini menjadi panggung tempat kita menampilkan pertunjukan. Seseorang mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan foto sempurna, menggunakan filter dan editing yang berlebihan, hanya untuk mendapatkan beberapa pujian. Ini menciptakan lingkungan di mana kejujuran menjadi barang langka.

Hal ini tidak hanya merugikan individu yang melakukannya, tetapi juga merusak ekosistem media sosial secara keseluruhan. Lingkungan yang dipenuhi dengan kepalsuan membuat kita sulit untuk terhubung secara otentik dengan orang lain. Alih-alih menjadi ruang untuk berbagi cerita dan pengalaman, media sosial berubah menjadi galeri foto yang menampilkan potret-potret kehidupan yang tidak benar.

Menemukan Keseimbangan: Kembali ke Kehidupan Nyata

Mengatasi fenomena fake life bukanlah hal yang mudah, tapi sangat mungkin. Langkah pertama adalah menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial bukanlah kenyataan seutuhnya. Setiap orang, tanpa terkecuali, menghadapi tantangan, kegagalan, dan momen-momen biasa yang tidak pernah diposting.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved